Minggu, 28 Juli 2013

Cinta Dibalik Layar

Aku hanya melaknat rasa pengecut yang selalu terpundung di sudut semu.

Terlalu gila untuk diteruskan ketika aku tertarik pada gaya ajarnya yang menawan. Lekuknya yang selalu menarik perhatian mataku. Tangannya susah dipisahkan oleh sebuah spidol. Kacamatanya kadang naik dan turun. Suaranya yang lantang membuatku gila. Banyak rumus yang selau dipaksa masuk ke otakku darinya tapi kenapa hanya rumus rumus absurd yang berhasil kutangkap.  Jelas dia seorang guru magang yang mengajar di kelas Kimiaku.

Mahabodohnya aku diam diam menyelipkan rasa di balik layar. Aku tidak ingin sombong tapi aku ingin menunjukkan seberapa dia mempengaruhi jalan hati dan pikiranku. Aku dengan IQ diatas rata-rata. Juara pertama olimpiade Kimia tingkat internasional. Beragam proyek ke MIPA-an sering ku renungkan disela aktivitas belajarku dan sekarang aku sudah ditawarkan untuk masuk ke Universitas bergengsi. Seberapa menang dan bangganya aku atas ini semua namun dia dan hanya dia yang membuatku tampak tolol.

Melumpuhkan segala prestasi yang kuraih. Mendapat IQ paling rendah jadinya. Berlebihan? Bagaimana tidak?  Aku mencintai orang itu sejak pertama bertemu, kini menyuruhku maju untuk sekedar mengerjakan soal dipapan. Sudah hafal diluar kepala rumusnya tinggal menulis jawabnya lalu menjelaskan secepat yang aku bisa. Bonus yang lain setelahnya aku pasti mendapat tepuk tangan meriah atas kecerdasanku paling tidak aku mendapat siulan atau “Sialnya, Kapan dia pernah menjawab soal secara SALAH? Dasar Kimia Hunter!” Cibiran itu sering kudengar tapi kali ini mungkin si pencibir akan merasa menang.

Spidolku tidak ingin bergerak pada titik poros berdekatan dengan simbol sama dengan. Apa-apan ini.  5 menit pertama termangu disudut papan. Berdeham sesekali. Ada yang lompat-lompat tidak terdeteksi secara ilmiah tepat dibagian sini. Iya, sini!. Hati. Dia mulai curiga, melirikku dibalik kacamatanya. Bola matanya mengintimidasi. Dia mulai mendekat, jaraknya 20 sentimeter sekarang. Aku menahan pertemuan mataku dengannya. Aku sangat yakin sosok yang lebih tua dengan ku 3 tahun itu mulai kebingungan.

Suaranya yang parau menyerang telingaku. Menanyakan sebab musabab aku membeku dititik sama dengan. Aku bungkam. Deg…deg…deg ini klasik sungguh klasik dan bodoh saat cinta menjadikanmu sebagai keledai. Para pencibir mulai menderu “Buuu…buuuu kenapa diam? Sudah lupa caranya menghitung? ”. Kupegang erat benda bertinta itu, pipiku merona.

Maaf pak, saya tidak bisa menjawab soalnya

Semua tercengang termasuk dia. Dia yang sehari-harinya melelehkan rumus rumusku. Tulisan dipapan, suaranya, ekspresinya membuih terus menerus dihari-hariku. Pura-pura mengisi tinta spidol hanya untuk  melihatnya menekan tombol sidik jari absensi dimesin absen rasanya sudah menyenangkan.  Lewat –lewat didepannya yang sudah jelas dia tidak akan tahu aku lewat karena tertutup oleh lembaran koran dihadapannya. Mestinya kau tanggung jawab. Hentikan rasaku sekarang. Dia hanya guru magang yang tidak bisa diharapkan kehadirannya untukku sepenuhnya  bahkan mungkin dia telah berhasil magang dihatiku. Aku berani mencercanya sebab aku takut perasaan cinta klasik anak SMA sepertiku terus tumbuh dan berbunga indah kemudian…Aku hanya melaknat rasa pengecut yang selalu terpundung di sudut semu

by : Indah