…Aku
hanya melaknat rasa pengecut yang selalu terpundung di sudut semu.
Terlalu
gila untuk diteruskan ketika aku tertarik pada gaya ajarnya yang menawan.
Lekuknya yang selalu menarik perhatian mataku. Tangannya susah dipisahkan oleh
sebuah spidol. Kacamatanya kadang naik dan turun. Suaranya yang lantang
membuatku gila. Banyak rumus yang selau dipaksa masuk ke otakku darinya tapi
kenapa hanya rumus rumus absurd yang berhasil kutangkap. Jelas dia seorang guru magang yang mengajar di
kelas Kimiaku.
Mahabodohnya
aku diam diam menyelipkan rasa di balik layar. Aku tidak ingin sombong tapi aku
ingin menunjukkan seberapa dia mempengaruhi jalan hati dan pikiranku. Aku
dengan IQ diatas rata-rata. Juara pertama olimpiade Kimia tingkat
internasional. Beragam proyek ke MIPA-an sering ku renungkan disela aktivitas
belajarku dan sekarang aku sudah ditawarkan untuk masuk ke Universitas bergengsi.
Seberapa menang dan bangganya aku atas ini semua namun dia dan hanya dia yang
membuatku tampak tolol.
Melumpuhkan
segala prestasi yang kuraih. Mendapat IQ paling rendah jadinya. Berlebihan?
Bagaimana tidak? Aku mencintai orang itu
sejak pertama bertemu, kini menyuruhku maju untuk sekedar mengerjakan soal
dipapan. Sudah hafal diluar kepala rumusnya tinggal menulis jawabnya lalu
menjelaskan secepat yang aku bisa. Bonus yang lain setelahnya aku pasti
mendapat tepuk tangan meriah atas kecerdasanku paling tidak aku mendapat siulan
atau “Sialnya, Kapan dia pernah menjawab soal secara SALAH? Dasar Kimia
Hunter!” Cibiran itu sering kudengar tapi kali ini mungkin si pencibir akan
merasa menang.
Spidolku
tidak ingin bergerak pada titik poros berdekatan dengan simbol sama dengan.
Apa-apan ini. 5 menit pertama termangu
disudut papan. Berdeham sesekali. Ada yang lompat-lompat tidak terdeteksi
secara ilmiah tepat dibagian sini. Iya, sini!. Hati. Dia mulai curiga,
melirikku dibalik kacamatanya. Bola matanya mengintimidasi. Dia mulai mendekat,
jaraknya 20 sentimeter sekarang. Aku menahan pertemuan mataku dengannya. Aku
sangat yakin sosok yang lebih tua dengan ku 3 tahun itu mulai kebingungan.
Suaranya
yang parau menyerang telingaku. Menanyakan sebab musabab aku membeku dititik
sama dengan. Aku bungkam. Deg…deg…deg ini klasik sungguh klasik dan bodoh saat
cinta menjadikanmu sebagai keledai. Para pencibir mulai menderu “Buuu…buuuu
kenapa diam? Sudah lupa caranya menghitung? ”. Kupegang erat benda bertinta
itu, pipiku merona.
Maaf pak, saya tidak bisa menjawab soalnya
Semua
tercengang termasuk dia. Dia yang sehari-harinya melelehkan rumus rumusku.
Tulisan dipapan, suaranya, ekspresinya membuih terus menerus dihari-hariku.
Pura-pura mengisi tinta spidol hanya untuk
melihatnya menekan tombol sidik jari absensi dimesin absen rasanya sudah
menyenangkan. Lewat –lewat didepannya
yang sudah jelas dia tidak akan tahu aku lewat karena tertutup oleh lembaran
koran dihadapannya. Mestinya kau tanggung jawab. Hentikan rasaku sekarang. Dia
hanya guru magang yang tidak bisa diharapkan kehadirannya untukku sepenuhnya bahkan mungkin dia telah berhasil magang
dihatiku. Aku berani mencercanya sebab aku takut perasaan cinta klasik anak SMA
sepertiku terus tumbuh dan berbunga indah kemudian…Aku hanya melaknat rasa
pengecut yang selalu terpundung di sudut semu…
by : Indah