Ini
mungkin terlihat membingungkan. Ini mungkin terlihat sangat pecundang hanya
saja aku tak ingin terlalu mengumbar. Cukup mati dengan candamu, cukup mati
dengan suaramu yang selalu menggema di saraf-saraf otakku. Mengertilah, aku bukan
gadis romantis yang berputar-putar dengan ungkapan sayang terhadapmu. Andai
saja kamu tau seberapa mati gayanya aku saat berbincang denganmu atau hanya
sekedar memulai pembicaraan. Jatuh cinta diam diam.
Aku
bukan gadis yang pandai membolak-balikkan, kata-kata cinta yang spesifik “Aku
mencintaimu, Percayalah!” bukan itu keahlianku tapi aku sembunyi dalam kiasan
dan dunia bayangan yang tak perlu kau tau seberapa vulgar aku berimajinasi
tentangmu. Modalku hanya tersenyum dan menahan nafas sejenak dengan begitu aku
tidak perlu mati kutu didepanmu. Bergelut dengan lompatan-lompatan impian gila
yang susah dikendalikan.
Bukan
untuk sembarang hati aku melakukan itu. Tak perlu alasan. Hanya perasaan untuk
dirasakan. Susah dimatikan. Belajarlah untuk peka bahwa aku memiliki caraku
sendiri untuk menikmatimu. Sepele tidak ada yang lebih, cukup duduk bersama
dengan memandangi langit yang sama. Aku meminta itu hanya itu, lantas biarkan
aku menganalisis setiap adegan dan gerak gerikmu sedetail mungkin. Desahan
nafas, aroma tubuh yang kuhirup, ujaran kata ‘hmm..’ kemudian ‘apa?’ bahkan
‘iya’ dan ‘tidak’. Bagaimana dengan sentuhan? Skinship?. Kekehan tawamu saja
sudah bisa membunuhku apa jadinya jika tangan hangatmu itu sekedar menggandeng
tanganku. Aku akan menggali lubang kuburku sendiri.
Keledai
itu bodoh. Aku pernah menjadi keledai saat melihatmu dari jauh. Kamu sibuk
menggauli segala aktivitasmu. Sesekali aku tersenyum heran, ada sepasang bola
mata yang mengarahkan tatapannya padamu. Berkedip kadang-kadang untuk membuat
mata ini cukup berair. Kemudian sering kali membuat suara-suara aneh hanya
ingin menarik perhatian. Sadar? Merasa? Yang paling tolol adalah saat berdiri
seperti mayat hidup disela-sela kursi, aku tak kunjung duduk di singgasana
nyaman itu. Untuk apa? Mendengar dan memastikan bahwa itu langkah kakimu yang
mendekat, ada gelombang suara khas dari pita suaramu yang tak menusiawi itu.
Lalu kamu lewat, seketika aku pura pura buta. Durasinya terhitung 5 detik
kemudian berlalu. Apa yang kurasakan? Error.
Aku harus
meminta maaf diawal. Maafkan aku mungkin bagimu adalah hal yang membosankan
tapi terkesan mendalam bagiku. Berlebihan? Kukira tidak. Hanya aku tak cukup
berani mengumbar kemanjaan didepan umum. Pilihanku hanya diam dan merumitkan
diri sendiri. Kembali pada bilik bilik kata bersayap.
Tak pernah jelas caranya aku menikmatimu
yang jelas kamu sudah berhasil membuatku terbunuh oleh bahasa kehidupanmu.
Selamat bertandang ke pemakamanku, kamu si pembunuh rindu.
By :
Indah