Sabtu, 12 Desember 2015

Haru biru pekerjaanku-- Perjalanan 2015

Kerja yang paling enak adalah hobi yang dibayar. Kata orang begitu, tapi bagiku itu di luar dugaan.

Ceritanya sudah hampir 12 bulan aku mulai merasakan ‘lenggang’. Aku berupah tapi dari uang orang tua. 2 Bulan pertama dari bulan Januari sampai Februari, Aku isi dengan kegiatan yudisium dan wisuda. 

Ketika SKL (Surat Keterangan Lulus) sudah didapat, aku berusaha menjadi Tarzan yang terjun ke hutan. Kata orang Welcome to The Real Jungle, kamu harus berjuang demi mendapat pekerjaan dengan upah yang layak. 

Karena kamu S1 patok hargamu di atas UMR, begitu kata Ayah. Tapi entah kenapa masih ada pikiran dan hati yang mengganjal. Terlebih, tak ada bayangan sama sekali aku akan kerja di kantoran.

Aku mulai melamar di perusahaan ini itu, aku menjalaninya sejak sebelum wisuda. Mengikuti job fair, membuat CV dan tetek bengeknya hingga membeli baju yang pantas untuk menghadapi dunia kerja. 

Itu semua ku lakukan demi apa? Demi uang ternyata, demi menjawab pertanyaan tetangga ‘Kerja dimana sekarang?’, dan demi status sosial sebagai wanita karir.

Setelah wisuda bulan Maret ada panggilan pertama dari sebuah perusaan makanan di Surabaya, aku merasakan apa yang namanya interview awal. Gugup, membeku, kagok semua ku alami padahal cuma ditanya kegiatanmu sehari-hari apa?. Panggilan kerja pertama gagal, tak masalah aku masih santai menanggapinya.

Tak lama sekitar bulan April hingga Mei perusahaan kereta api memanggilku untuk mengikuti tes di Madiun, Tes Administrasi--Interview Awal--Psikotes--Kesehatan hingga Interview User. Rentetan itu ku ikuti hingga akhirnya gagal. Aku sedikit mengecewakan orang tua karena gagal di perusahaan BUMN. Ya, tau sendirilah bekerja di BUMN adalah pekerjaan termakmur untuk masa depan.

Bulan Juni dan Juli ku habiskan masa menghadiri Job Fair hampir setiap minggu aku datangi meski tak membuahkan hasil. Entah kenapa aku masih woles dan masih tak ada gambaran bahwa aku akan berada di kantoran.

Setelah itu sekitar bulan Agustus aku kembali dipanggil perusahaan untuk menjalankan interview, beberapa kali malah. Dari klinik kecantikan, pabrik sarung dan Industri pembuat spare part motor. Perusahaan dengan nama besar sering kali memanggilku tapi nyatanya masih gagal juga. Aku cuma senyum-senyum aja, menyerahpun tidak, sesekali bingung iya. Mungkin mulai merasakan 'tak nyaman' berada di rumah terus menerus.

Sejak itu aku mulai berpikir, mungkin aku harus mulai merubah pola kegiatan agar tidak monoton. Kenapa aku harus frustasi untuk getol mendapat pekerjaan kantoran jika memang jalannya tidak pernah di situ.

Terkadang feeling itu selalu kutepis, berasa membohongi diri sendiri bahwa sesungguhnya aku juga tak pernah ada bayangan untuk bekerja di perusahaan dengan nama besar. Jangan-jangan aku nanti punya perusahaan senidiri? sempat aku iseng berpikir demikian. 

Terlalu fokus mencari pekerjaan membuatku lupa untuk menggali potensi lain yang kumiliki. Menulis, Fotografi, Membuat kerajinan tangan. Iya, aku suka homemade. Aku suka mengumpulkan benda-benda kecil untuk dijadikan koleksi, bahkan mainan koin-koinan waktu SD masih ada. 

Bulan September, masih mengikuti job fair hingga aku hafal di luar kepala bagaimana sistemnya, tapi masih tak ada hasil. Mungkin aku butuh piknik. Ku buka lagi blog lamaku, menuliskan sebuah cerita yang telah lama tak pernah kutekuni lagi. Saat ku publish aku ingin sesuatu yang baru, Oh..ya aku publish saja di komunitas. 

Satu cerita yang ku publish di komunitas baruku justru lebih membuahkan hasil meski hasilnya bukan materi. Ceritaku banyak dinikmati banyak orang, tepatnya para pecinta K-Pop. Banyak pujian yang kudapat, hingga ada satu rasa yang telah lama hilang muncul kembali. Passion.

Aku jadi happy, seperti keluar dari belenggu. Aku merasa kabur dari dunia nyata melalui tulisan, melalui khayalan Korea yang mestinya sudah ku tinggalkan. Nyatanya aku tak pernah bisa move on, aku masih pulang kampung. 

Menjadi sang pemimpi, lalu muncul sebuah doa. Doa dari anak cerewet yang suka berkhayal. Berharap ada yang bisa mempercayai passionku untuk di bayar. Entah itu tulisan atau hasil fotoku.

Sepertinya tak mungkin, bodohnya lagi aku masih minder-mindernya untuk mempertontonkan tulisanku yang abal-abal. Pasti tak ada yang percaya.

Pertengahan September setelah ku update status di BBM perihal cerpenku, satu hal yang masih kuingat dan  cepat sekali Tuhan menjawab doaku. Ada satu tawaran berupa lowongan pekerjaan untuk menulis artikel. Aku hening. Merasa senang tapi juga aneh. 

Senang sebab Tuhan masih bercanda denganku, aneh karena tak percaya ternyata pekerjaan itu ada dan datang menghampiriku. Kupikir matang-matang tapi tak ada salahnya mencoba. Aku meng-iya-kan tawaran itu, namun lagi-lagi Tuhan selalu suka tarik ulur. Aku ditolak. 

Kesempatan selalu cepat datang dan juga cepat pergi. Aku diam saja, kubiarkan itu berlalu. Toh untuk menuju hobi yang dibayar bukan perkara mudah. Mengingat hobiku yang satu ini adalah menulis. Aku bisa jadi wartawan, aku bisa jadi penulis tapi masih belum ada tuntutan ke sana. 

Setengah otakku masih dipengaruhi oleh sistem-sistem kekal yang menyatakan bahwa harus bekerja menjadi buruh, bukan dibentuk untuk meyakini bekerja sesuai passion. Congrats-lah bagi yang bisa bekerja sesuai passion, seribu satu. Tapi sepertinya jauh dari pemikiranku.

Akhir September, telingaku kembali mendengar ada kesempatan emas dari seorang teman sekaligus rekan kerja bisnis online shopku. Dia menawarkan jika temannya membuka lowongan penulis. Ada rasa ragu tapi juga ingin mencoba lagi. Akhirnya dengan tekat yang kuat dan kepercayaan diri maksimal aku kirimkan melalui email contoh tulisanku. 

Judulnya kalau tidak salah 'Jangan Pernah Remehkan Galau, Dia Punya 6 Manfaat Yang Perlu Dipahami'. Kala itu, aku memang suka menulis tulisan yang bisa ku selipi acara curhat.

Beberapa hari kutunggu sambil memikirkan kemungkinan terburuk. Pertanyaan-pertanyaan sering kali timbul tenggelam. Apa sudah tepat keputusanku. Apa aku sudah menyerah untuk mencari pekerjaan yang diinginkan orang tua dan tetangga? Sebagai wanita karir yang bekerja dikantoran dengan ruangan ber-AC ?

Kalau memang jalanku adalah hobi yang dibayar, mungkin aku harus terjun dulu dari pada sekedar berangan-angan.

Mungkin hari sabtu, masih akhir bulan September, tulisanku terpilih dan aku harus bertanggung jawab. Aku diterima menjadi salah satu penulis freelance di web yang akupun tidak tau namanya. 

Setelah ba—bi—bu melalui proses komitmen dan briefing aku mendeklarasikan diriku sebagai pekerja freelance. Aku mendeadline diriku sendiri, dibulan pertama aku akan rehat mencari pekerjaan lain. Istilahnya aku harus menikmati dulu, mencari pengalaman bekerja untuk pertama kalinya. Meski bekerja di rumah, mengandalkan tethering dan leptop. 

See, ternyata bukan pekerjaan kantoran yang datang. Feelingku terbukti kali ini tapi itu tak menentukan apapun. Perjalananku masih panjang.

1 Oktober, hari ulang tahun sekaligus lahirnya Wovgo

Wovgo nama website yang aku naungi sekarang, sejak 1 Oktober 2015.



Aku terus berkata bahwa Tuhan bercanda padaku tiap bulannya, dan sekarang DIA memberiku kejutan kecil tepat di hari ulang tahunku sebuah pekerjaan. Antara bersyukur dan dag dig dug. Aku tak punya pengalaman apapun selain menyukai kata-kata, bahkan aku sudah jarang untuk membaca buku. 

Jalani saja pasti ada titik temu.

November 2015, mendekati akhir tahun. Ternyata aku bisa enjoy bekerja dengan cara seperti ini. Apa mungkin masih semangat-semangatnya atau entah bagaimana yang jelas aku dibawa menjelajah ke tempat-tempat yang tak pernah ku rasakan sebelumnya. 

Menulis tema yang bermacam-macam. Sehari 3 artikel, jika ditotal bisa mencapai 50an lebih artikel per bulan. Itu adalah tantangan tersendiri. Ah..andai kedua orang tuaku bisa membacanya. Mungkin mereka merasakan apa yang aku rasakan. 

Aku cukup menjadi introvert ketika di rumah. Ekstrovert ketika dihadapan leptop dan bertemu teman-teman lama ataupun yang baru. Beberapa dari mereka mendeskripsikanku sebagai ‘Goddess of Ngecemes’. Tapi jika di rumah aku memilih diam seribu kata kalau disuruh mengungkapkan soal perasaanku yang sesungguhnya.

Pertengahan November, aku mulai goyah. Goyah karena tekanan dari keluarga yang masih menuntutku mencari pekerjaan. Mau tak mau aku kembali melamar di berbagai perusahaan. Aku mendapat panggilan dari perusahaan wafer dan biskuit lagi. Masih dengan embel-embel perusahaan besar dan aku melalui berbagai tes. Interview awal--Psikotes--Interview User hingga Tes praktik sosial media. Mengesankan, aku diiming-iming gaji 3 kali lipat lebih besar dari gaji freelanceku. 

Di momen-momen itu, rasanya kacau. Tuhan selalu bermain-main denganku. Memberi pilihan yang rumit. Yang bisa kulakukan adalah memikirkan kemungkinan yang terjadi. ‘Jika aku diterima’ dan ‘Jika aku tidak diterima’ hanya rencana sistematis yang membuatku tenang. 

Ketika menjalani tes, aku berkata bahwa aku bekerja di Wovgo, aku senang menjalani pekerjaanku sekarang dan berniat ingin tetap melanjutkan. Kasarannya, aku menawarkan diri agar perusahaan itu mau menerima kondisiku yang seperti ini dengan semua konsekuensi yang siap ku pertanggung jawabkan. 

Dititik itu jujur adalah cara terbaik. Ucapan itu keluar dengan polosnya. Tak lama, hasilnya adalah aku tidak diterima. 

Menanggapi hal itu, antara suka dan duka. Suka karena ternyata aku masih bisa utuh dengan pekerjaan yang merupakan passion, dukanya adalah aku tak membawa kabar baik bagi ke dua orang tuaku. Semua memang butuh pengorbanan.

Parahnya lagi, masih di bulan yang sama aku mendapat 3 panggilan sekaligus. 2 yang lainnya adalah salah satu media cetak dan perusahaan saham. Namun aku tidak pernah datang karena alasan bentrok jadwal tes perusahaan biskuit tadi.

Sekarang, kalau ditanya ke depannya seperti apa. Ini udah masuk bulan Desember loh. Mungkin aku harus menunggu kejutan lain dari Tuhan. Yang terpenting, aku harus komitmen pada diriku sendiri. Pelajaran yang sesungguhnya adalah fokus pada hal yang ingin dicapai. Tahun depan aku harus mencapai apa. 

Terbelesit keinginan untuk menyegerakan menikah mungkin itu bisa jadi resolusi di tahun 2016. Aku tidak pernah munafik, aku hanya seorang wanita yang punya impian besar tapi juga ingin kurintis sendiri.

 Bisa dibilang tidak bermain terlalu keras tapi juga butuh uang. Ingin mandiri tapi juga butuh pendamping masa depan.

Ah..sudahlah.

by : Indah