Sabtu, 03 Mei 2014

Because i'm a cop...

Seperti pagi pagi normal lainnya, aku sibuk dengan leptop kecilku diujung jendela terbuka lantai 3, sambil meneguk segelas green tea. Meski hangatnya sinar pagi terus menderu namun tak pernah menggigit kulit pucatku tapi tidak dengan wajah yang kutunggu. Ekspresi wajah mengantuk yang selalu muncul hanya sekedar mengambil koran di luar pagar.  Lalu....

"HAI___" Suaranya terdengar nyaring. "...SELAMAT PAGI...REPORTER!" Pukul 06.00, dia selalu menyapaku dari bawah halamannya. 
"HAI JUGA__" cantik! "EMM..WANITA KARIR!" senyumanku terlihat geli sekarang. Kemudian dia kembali masuk. Hampir saja...

Wajah itu muncul lagi di balik pintunya, rambut gelombangnya sedikit basah terkena selang air. Dia menyiram. Dia masuk lagi. 1 jam kemudian mini dress pastel dan rompi hitamnya yang menurutku sangat pas ditubuh mungilnya, terpasang lengkap dengan tas tenteng. Indah, dengan riasan ala kadarnya, bersiap untuk melalui hari-harinya. 1 langkah 2 langkah...dan pasti dilangkah ketiga dia kembali untuk mengambil bekal makanan dan sebotol air mineral yang SELALU terlupa. Andai, aku yang sudah siaga dibalik pintunya kemudian menodongkan sejumlah benda pengisi perutnya, aku akan bahagia. Bukan sebagai penikmat aktivitas menjemuhkan di pagi hari dari ujung jendela...

Jika semua orang di pagi hari selalu diawali dengan menyiram, menyapa bahkan hanya sekedar membaca email di leptopnya sambil menyesap teh hangat, itu sangat membosankan. Bagiku, jogging dan membelanjakan mata adalah hal yang memberiku energi. Iya, wanita seksi yang sering menyapaku, terkesima dengan dadaku yang berotot dan rambut yang berkeringat. Tidak dipungkiri, dia akan berada diranjangku nanti malam, tapi tidak untuk malam ini. Mataku langsung tertuju pada, "Aprhodite, the goddess of love and beauty". Terlihat menunggu datangnya bus di halte. Kugiring kakiku mendekati cahaya dewi. Aroma tubuhnya menyentuh kepekaan hidungku. Hasratku langsung ingin memeluknya erat sebagai kekasihku. Ayolah datang padaku.....

"Kau tidak ingin bersenang-senang sebelum berangkat kerja?" Godaku pada wanita yang menenteng tas hitam itu. Matanya terbelalak.
"Oh..ya ampun, Pria berotot! Terlambat...pagi yang sibuk" Dia tertawa seperti tidak sedang digoda. Perfect.
"Maksudku, 10 kali aku mengajakmu untuk datang ke restoran Prancis mahal" Kunaikkan alis terbaikku agar tampak keren "...dan kau memberi kesempatan pada 10 wanita lain untuk menggantikanmu, itu sangat lucu". Nafasku mulai tak beraturan melihat matanya berkedip-kedip.
"Untuk ke-11 kalinya, kau bisa mengajak wanita yang suka menyapamu di toko kue tadi.." Bibir merah jambunya menolakku dengan halus. Lagi.
"Kau..memperhatikanku? Kau memperhatikan dia yang telah menyapaku? Kau cemburu?" Teriakku. si Aprodhite sudah lenyap bersama bus.

Kabar baik, kau memenangkan proyeknya dan kita akan ke Paris! gigiku menyeringai. Kita?...
Minggu depan kita ke Paris, berdua, bersama, shh...proyek jalan-jalan?? Brengsek..! Kupandangi kaca leptop yang masih memantulkan bayangan memalukan. Bayangan yang menampakkan usulan-usulan modus hina. Sesekali berimajinasi bagaimana melakukan pendekatan-pendekatan romantis dengan wanita yang mungkin, dia itu, hanya bayanganku saja...

"Selamat pagi teman kantor, siapa yang akan ke Paris?". Wanita itu menepuk pundakku dengan keras. Mengaburkan bayanganku sekabur-kaburnya. Keringat dingin mengucur. Pantatnya dengan santai mengudara di kursi miliknya, berhadapan dengan bilik bagianku.
"Tidak seorangpun....dari kita yang berangkat ke Paris!" gugupku sembari mulai mengetik sesuatu di leptop yang belum menyala. Salah tingkah. 

Kuperhatikan dia, rambut gelombang kecoklatan, mata bundar jernih, hidung mungil dengan pasangan bibir kemerahan. Sempurna. Sibuk memainkan gadget kecilnya. Handphone. Mengetik sesuatu, terlihat penting. Menarik bibirnya ke arah senyum manis yang setiap hari harus kutelan bulat-bulat, senyumnya bukan untukku. Pagi yang berat.

Malam tiba lebih cepat, aku sudah tidak sabar menantinya. Menanti makhluk yang satu itu, di dalam mobil, membuatku suka was-was di kawasan ini. Kunikmati pemandangan kota di sekelilingku. Memperhatikan setiap inci gedung 5 lantai di depan rumahnya. Hanya ada satu jendela yang terbuka sangat lebar di tengah angin yang cukup dingin, itu aneh. Di ujung jalan ada restoran Prancis dengan pemandangan seorang pria yang sibuk mengeluh-eluhkan wanita yang tampak genit di depan mejanya. Disela-sela keingintahuanku, terdengar apa yang sebaiknya kudengar. Pintunya terbuka, dia keluar dengan pakaian casual, melenggang santai penuh kegembiraan. Aku harus turun.

"Kantor tidak cukup sibuk, jadi aku tidak pulang selarut biasanya" Gambaran keriangan terlukis di setiap penekanan katanya. Membuatku ingin memeluk lebih erat dari yang biasanya.
"Kapan kita menikah? Aku ingin kau keluar dari sarang penyamun ini.." Aku mendesah panjang sambil memperhatikan jendela aneh yang kini sudah bertengger seorang pria melankolis.
"Aku suka tempat ini, tidak ada yang aneh,,,semua baik-baik saja" Ekspresinya tampak polos. Aku semakin khawatir.
"Tidakkah kau lihat, beberapa gerombolan pria sering mabuk dan berjudi disana?" Kutunjuk gang sempit beberapa meter dari hadapannya "Setiap pagi kau harus menyapa seorang yang sekarang sedang berdiri memandangi kita dari jendela lantai 3?" Aku meliriknya dengan tajam "Atau kau selalu saja digoda laki-laki penggila sex untuk makan eskargo di restoran mahal? dan baru tadi pagi teman kerjamu berupaya mengajakmu ke Paris..." Mata indahnya kini menghujaniku dengan pertanyaan bagaimana kau tau? "...banyak wanita disana kenapa harus kau?!....." Hening sejenak "Because i'm a cop, honey.."

Raut muka kekasihku memerah. Bingung. Berpikir dan menyadari bahwa pria yang menyayanginya adalah seorang polisi yang berusaha menghindarkannya dari pikiran negatif para pria disekitarnya. Kemudian dia tersenyum, jari-jarinya sekarang sibuk memegang pipi tirusku. Menggosoknya perlahan.

"Berhentilah memata-mataiku, berhentilah menyadap setiap kegiatan dan mungkin email atau ponsel teman-temanku" Seakan-akan dia tau bahwa aku cemburu dengan banyaknya pria yang mengerubunginya "..dan berhentilah jadi polisi, lalu kita menikah"

Kalimat terakhir membuatku ingin membunuh diriku sendiri. Dia sudah gila...

"Kau tidak perlu mati-matian jadi polisi untuk sekedar melindungiku dari para tetangga" Kutamatkan rautnya yang kini datar "..kau bisa jadi anjing penjaga kalau kau mau"

Sekarang dia menyindirku...

"Mereka berhak mencintaiku, tapi aku dengan sadar tak memiliki hak dan tanggung jawab untuk membalas cinta mereka, Pak Polisi" 

Lengan tangannya mengikuti gerak jemari yang mulai meraba rambut dan leherku. Kecupan halus mendarat di mulut yang sudah mengoceh. Aku berharap semua pria yang melihat ini segera hengkang....


by : Indah