Jumat, 25 September 2015

Gadis Nostalgia



Sejak aku menulis ini kamu memang tak pernah hadir lagi.Tak pernah hadir lagi di hadapanku tapi aku selalu mengulang kesalahan yang sama. Menghadirkanmu dalam mimpiku setiap malam. Memaksa kenangan memakanku mentah-mentah. Aku memang gadis nostalgia yang selalu menoleh ke belakang tanpa arah. Waktuku hanya habis dibalik layar memandang kehangatan kita melalui foto reuni, menelisik setiap kegiatanmu melalui akun twitter. Tak hanya twitter, berusaha mencari-cari namamu di semua sosial media. Padahal jelas kamu hanya punya twitter. Kamu bukan pria yang mudah mengumbar apapun melalui sosial media. Entah kenapa aku terus memaksa jempolku untuk mengetik ejaan namamu. Nafasku mulai berangsur-angsur sesak.

Ejaan nama yang sudah terpatri menemaniku sebelum tidur. Malam adalah puncaknya, puncak di mana memori tentang kamu menguar seperti kepulan asap, pekat menyakitkan. Sepi, dingin dan gelap. Lalu kudengarkan lagu-lagu yang pernah menemani kegiatan kita, salah satu pemicu tetesan air mata. Sudah tau pedih tapi masih dilanjutkan. Mulai ku hadapi kenangan yang merayapi. Main sebentar dengan yang namanya ingatan. Mengingat bahwa kita pernah tak saling sapa. Memasang kuda-kuda saling mengadu pada pak guru bahwa kamu tidak pernah menyelesaikan tugas piket harian. Saling melirik dengan mata melolot, mengisyaratkan bahwa kita akan saling menjatuhkan pada ujian matematika. Begitu setiap hari. Namun suatu saat kamu diam, memandangku seolah penuh tanya.

Tiada henti aku marah-marah sambil meminta uang iuran kelas. Kamu menunggak banyak dan aku kerap muntab, tapi kamu diam. Cukup senyum yang kamu sematkan. Matamu terpancar begitu sendu tak bernafsu membalas bahkan mengadu. Aku semakin menjadi-jadi untuk memancing emosimu. Tanganmu malah menepuk-nepuk jidatku sambil berujar ‘marahlah semaumu’. Kamu jadi tak biasa. Bukan tak biasa tapi kamu mulai menyimpan rasa.

Tak pernah kusadari itu, hingga pada kondisi kamu mulai mendekatiku dan mengutarakan isi hatimu. Maaf saat itu aku terlampau bodoh memahami semua. Memahami bahwa kamu telah mencintaiku. Aku hanya gadis SMA yang tak pernah mengerti bahwa setiap pertengkaran kita adalah hal yang sangat berarti bagimu hingga kamu dititik penat. Penat untuk meladeniku marah-marah, dan memilih menyerah. Aku tak pernah mengerti pertengkaran merupakan caramu untuk mengorek informasi tentangku. Aku tak peka. Tapi aku juga tak salah, karena taktikmu pun membuatku buta rasa.

Andai semua dapat diulang. Aku masih hafal senyum manismu yang dulu, yang kini menjadi abu. Sekarang kita sudah dewasa, mampu menangkap setiap kode abstrak bernama cinta. Modus lain yang bisa kamu pelajari untuk dekat denganku lagi. Bukan lewat pertengkaran, ada bbm yang siap menemani kita bercanda. Aku hanya mengandaikan kita bersua lagi lewat aplikasi kemudian berangsur menjadi pertemuan. Ini hanya harapan, iya harapan yang susah diwujudkan. Karena kita sekarang sudah saling melupakan.Tolong jangan pernah ada kata rindu di ujung nafasku. Aku lelah, aku hanya ingin terbebas dalam perasaan masa lalu yang terus menggebu. 

Jika tak pernah menjadi masa depan maka segeralah tuntas berlalu jangan jadi masa lalu yang selalu mengadu.

by : Indah

Senin, 21 September 2015

Last Kiss - Wedding Dress

  Poster by Laykim @ Indo Fanfictions Arts

Chapter sebelumnya >> Last Kiss 1

Pria bermuka pucat itu menunjuk dadanya. Memamerkan kedua alis tipisnya yang naik turun “Maaf, sepertinya kau harus ganti meja karena ini sudah di reservasi atas nama Sehun!”  

Sejenak kupandangi dia dengan tatapan sinis tapi entah mengapa berangsur pulih ketika kuamati alisnya yang naik turun kembali normal. Kemudian ceritaku, pertengkaran antara Kim Sanny dan Sehun dimulai.
Sudah kubilang kan, selalu ada cerita yang terus berulang entah itu orang baru atau orang lama. Cerita soal cinta.

****


Setelah dengan Kris, aku melanjutkan hidupku dengan-Nya. Bukan dengan yang maha kuasa tapi Sehun. Pria baru dengan kisah yang baru.

Penyakit lama Sehun kembali, bukan Sehun namanya jika kamera tak selalu dilehernya. Penampilan acak kadut seenak dirinya. Asal jepret sekenanya tapi tak pernah meleset. Seharusnya dia yang menjadi model tak perlu dia berprofesi menjadi fotografer, apalagi fotografer makanan. Iya, 6 bulan lalu kami bertemu di sebuah café dekat rumah Kris. Jangan ingat soal Kris bukan momen yang pas untuk diingat kembali. Singkatnya, aku sudah lupa mengapa sekarang aku dan Sehun bisa seakrab ini. Aku hanya ingat, Sehun pernah beradu mulut perihal meja yang telah ia pesan, dia bersikeras untuk mempertahankan mejanya itu hanya karena untuk mendapat angle yang pas bagi lensa kameranya. Alih-alih mengusirku dari meja itu , dia hanya tersadar bahwa aku cukup pantas untuk dijadikan objek tambahan pendamping objek utama dia yaitu makanan yang kupesan. Sedikit sakit aku hanya sebagai sampingan, dari situ lah kami mulai berkenalan dan bercerita ini itu hingga sekarang.

“Dimana? Pulang kantor jam berapa?” Suaranya yang berat menguar ditelingaku.

“Kenapa? Ada cafĂ© baru?” Singkatku.

“Iya, Jam 8 malam ya?”

“Oke”

Kalau ada maunya selalu seperti ini. Kesalku melalui handphone yang sekarang berbunyi tut panjang. Ku kemas barangku, persiapan pulang kantor. Jika kalian mengikuti kisahku sebelumnya kalian pasti sudah paham apa profesiku. Iya, writer. Save draft dan ayo makan-makan bersama Sehun. Senyumku selebar buah semangka yang siap digigit, sangat lebar. Kenapa senyumku begitu lebar setiap kali bertemu dengannya. Lagi-lagi aku harus bergelut dengan adegan-adegan yang mengganggu perasaanku.

Waktu berlalu cepat. Jam 6 kemudian jam 7. Bercermin. Sudah siap menunggu sosok Sehun. Pria dengan wajah kekanak-kanakkan. Berbeda dengan Kris. Tak ada unsur ketegasan dalam dirinya. Lembut dan segalanya begitu cepat. Gerak gerik dan cara bicaranya. Aku suka bermain dengannya, sangat suka hingga lupa waktu. Hampir setiap minggu sekali, dia menjelajah cafĂ©-cafĂ© baru, menjajakan beberapa hasil fotonya ke….aku tidak pernah tau sistem bisnis fotografinya seperti apa, yang ku tau wajahku selalu menampang disetiap lembar bingkai fotonya bersama makanan dan minuman yang penataannya mengandung estatika.

Teeettt….suara bel rumahku berbunyi. Tepatnya rumah yang kusewa selama aku bekerja. Sehun sudah berangsur masuk begitu saja, wajahnya tak lepas dari aura cerah.

Welcomeeee” Mengayun-ayunkan kamera uniknya itu.

“Aku yang seharusnya bilang begitu” Ramahku padanya. Aku selalu saja mengijinkan sikapnya yang tak pernah sopan.

“Betapa dirimu sudah sangat sempurna bersanding dengan steak daging yang siap kau santap. Rambut kuncir kuda dipadukan dengan kostum yang…”Sehun berhenti sejenak, menganalisis sesuatu yang tampak seolah-olah salah dimatanya, “sangat sangat biasa. Kenapa tak coba pakai mini dress yang sedikit elegan..jangan terlalu simpel aahh terlalu casual”. Dia mendesah.

“Kau berani bayar aku berapa?” 

“Bayar dengan cinta” Ujarnya genit sembari mengguncangkan tubuhku yang terlewat mungil dihadapannya.

Ahh..sudahlah. aku menggerutu dalam diam.

Bola mataku berputar. Berusaha mengabaikan ocehannya, hanya berusaha tapi tetap saja seruannya membuatku senang. Aku terlalu takut untuk mengakui bahwa aku jatuh cinta lagi. Aku sudah melupakan Kris begitu singkat. Kemudian aku diberi pria baru, tak ingin terlibat lebih jauh tapi dia dengan sangat mulus masuk-masuk ke celah yang lebih dalam dari pada Kris. Aku harus cuek.

****

“Minggu depan aku harus mengajakmu ke suatu tempat”

“Kemana?”

“Survei restoran lagi, untuk ini…” Sehun mengeluarkan sesuatu di sakunya, sebuah kotak mungil yang sangat manis berwarna keemasan. Aku langsung menyadari apa isinya. Kotak cincin itu terbuka sekarang, rasanya aku kesemutan. Kupegang dengan erat sementara Sehun fokus pada kemudi mobilnya. Tak perlu ku gambarkan betapa indahnya cincin itu. Terasa begitu kecil tapi menawan, tipis tapi menyakitkan. Ada cahaya berpendar dibalik ukirannya. Ukiran nama Na Eun. Ini alasan kenapa aku harus menjadi cuek, tak lagi mempertanyakan dan mengusahakan apapun. Kita sebatas rekan. 

“Kapan kalian akan meresmikan?”

“Entahlah 1 bulan lagi mungkin, Na Eun terlalu sibuk…” Ada nada kecewa dalam diri Sehun, teramat sangat berat untuk melanjutkan hubungannya. Hatiku cukup berteriak, maka putuslah sekarang!

“Kau sudah bicara banyak hal soal Na Eun, hubungan kalian hanya terpisah jarak. Sudah hampir 4 tahun kalian lalui apa yang perlu kau cemaskan?” Sanny kau harus tegar, jangan menjadi jahat seperti Kris. Jika iya maka kau sama saja dengan Kris.

Perlu ku lukiskan sosok Na Eun begitu cerdas, wanita sempurna tapi kaku. Kaku untuk bersenang-senang seperti Sehun. Dia tipe wanita karir yang sangat detail akan masa depan. Serius tapi hangat, dewasa tapi penuntut. Mungkin satu kata untuk Na Eun, pemimpin. Tampak kontras dengan Sehun. Anehnya hubungan mereka sudah 4 tahun. 2 bulan sekali mereka bertemu. Aku pernah bertemu dengan nya sekali, kami langsung akrab. Dia percaya padaku seketika, senyumnya masih ku ingat. Senyum keibuan yang membuat Sehun tak pernah bisa tinggal diam mengusahakan hubungan mereka. Begitu juga denganku yang tak pernah tega mengakui bahwa aku mulai menyukai kekasihmu.

“Jika cincin ini tak pernah sampai di jarinya, aku tak pernah tau siapa penggantinya. Mau kah kau…”

“Maka sampaikanlah! Antarkan! Nikahi dia. Done! Hyaaa…kau membuatku frustasi” Aku harus memotong Sehun cepat-cepat sebelum dia mulai membuatku hilang akal. Dia hanya tertawa.

Sampai di restoran yang dituju, aku mulai tenang. Di hadapkan dengan berbagai macam orang yang kelaparan. Kami mulai memesan makanan sesuai kebutuhan kamera Sehun. Selagi menunggu steak yang diidam-idamkan, dia masih mengoceh soal ‘kekurangan’ Na Eun. Betapa Na Eun tak pernah mengerti kesenangan Sehun selama ini. Na Eun tak bisa diajak bersenang-senang, dinner time, photo shoot, melihat konser….

“Setidaknya kami menikmati waktu nonton seperti pasangan lain, nyatanya tak pernah ku dapatkan hingga aku bertemu denganmu, Sanny”

Na Eun. Na Eun dan Na Eun. Aku mulai muak.

“Sepertinya dia tak pernah memikirkanku lagi, menganggap semuanya mengalir. Pria juga butuh kepastian” Dia mulai mendramatisir.

Muncul raut wajah sendu di sudut matanya. Hatiku teriris. Andai saja tak pernah ada Na Eun saat kita bertemu. Aku bisa membuatmu lebih bahagia tapi tidak dengan hatimu sayang. Tidak dengan kebutuhanmu. Semakin kau mengumbar soal Na Eun semakin terkoyak hatiku, semakin aku tau betapa kau mencintainya. Alih-alih membenci tapi kau hanya frustasi, ada rindu terselip dalam dadamu. Kau lampiaskan padaku, yang hanya seperti bayangan. Mencintaimu dari belakang.

“Maka dewasalah, pastikan semuanya baik-baik saja. Ketika pria tak mampu menunggu jangan berharap untuk mencari pengganti sebagai solusinya, tapi kejar dia. Aku hanya meyakini Na Eun di sana juga mengharapkan kedatanganmu membawa cincin itu. Kalian sama sama bimbang” Responku membuat dia terbelalak.

Sejenak Sehun diam, memandangku seperti asing. Menelaah setiap kalimat yang kulontarkan. Aku mendadak takut ketahuan bahwa semua yang kuucapkan tadi hanyalah sia-sia. Nyatanya, masih tersimpan kebohongan dalam diriku.

Steak yang dia pesan datang, masih panas. Asapnya mengepul. 

“Aku lapar, selesaikan jepretanmu lalu kita menyantapnya dan pulang” Aku membujuknya, membuatnya sedikit teralihkan “Minggu depan tak hanya restoran romantis untuk Na Eun tapi kita bisa ke rumah gaun untuk memberikannya sedikit kejutan. Aku punya banyak link untuk memilihkan gaun mana yang tepat untuk upacara pernikahan kalian” Aku menawarnya lagi, memaksakan hal-hal yang membuatku semakin terkoyak.

Sehun mengangguk pasrah, seketika handphoneku berdering.

“Hallo? Hei…apa kabar? Kau sudah lama tak menghubungiku. Mungkin sejak 5 tahun yang lalu” Senyum ku berdesir renyah tepat di depan Sehun yang sibuk menuang saus barbeque di atas steakku. Kutangkap lirikan matanya sesekali ke arahku saat aku merespon panggilan telpon.

“Iyaaa…tentu saja. Oh ya? Mungkin kita harus bertemu untuk saling bercerita” Aku berlama-lama.

“Siapa?” Sehun dengan tatapan penasaran bertanya setelah kuakhiri telponku.

“Teman lama, masa lalu…ah jangan diingat”

“Kris?”

“Bukan”

“Dia tidak pernah menghubungimu lagi?” Kini Sehun seolah-olah menyibukkan diri dengan settingan kameranya.

“Tidak, ehmm…sekitar 1 bulan yang lalu. Dia menanyakan kabarku, kukatakan aku baik baik dan aku tidak merespon dia kembali” Aku mengulum senyum masam "..yang tadi itu Kai, teman sekolahku dulu"

Sehun menatap mataku begitu dalam, memikirkan sesuatu.

“Cemburu?”

“Iya”

Rasanya seperti melambung.

****

Aku hanya menyadari bahwa hidup terus berputar, I’m still 23 dan akan banyak kisah yang harus kujelajahi sebelum menemukan satu yang paling tepat di antara sekian macam drama percintaan. Itu hanya pikiran logika, tapi logikaku selalu dikalahkan oleh perasaan yang terlalu menggebu. Kutampar wajahku pelan-pelan. Sadarlah, Sehun akan segera menikah dan kau tak mungkin menghalanginya, dengan mengedepankan egomu untuk merebut wanita yang keibuan seperti Na Eun. Meskipun Sehun mulai membuka hatinya padaku. Aku mulai mengacak-acak rambutku geram di depan cermin setinggi 2 meter dalam kamarku, kemudian melompat kaget saat Sehun menerjang masuk seperti rumahnya sendiri.

“Kau harus belajar memahami apa itu ‘mengetuk pintu’ boy!” 

Ada yang menunda kedatangan kami ke rumah gaun. Baru terlaksana 1 bulan kemudian. Bukan ada yang menunda tapi akulah yang tak pernah mampu membawanya ke rumah itu. Maaf Na Eun aku egois. Benar, aku mencintai kekasihmu. Selama 1 bulan kemarin, tiap minggunya aku hanya berputar-putar menikmati kesenangan sementara, hatiku tak pernah bisa kukendalikan. Kami hanya saling mengulur-ulur perasaan. Mendalami hal yang tak seharusnya. Aku yang selalu menyokong Sehun, menikmati keinginannya. Tapi percayalah Na Eun dia masih membutuhkanmu. Aku akan mundur.

“Kenapa kau sebut rumah gaun?” tanya Sehun penasaran.

“Karena ini tempat yang membahagiakan untuk para wanita. Wanita mana yang tak bahagia jika pria idamannya, menggandengnya masuk ke ruangan penuh dengan gaun pernikahan” 

Hanya aku wanita satu-satunya yang tak bahagia melihat realita ini.

Saat itu, entah apa yang merasuki Sehun. Dia tidak seperti biasanya. Ada yang masih menyelimuti pikiran dan hatinya. Kami berkelana mencari gaun yang cocok untuk Na Eun. Sejenak mengubur perasaan masing-masing. Kupilah-pilah kain-kain yang menjuntai itu, renda, warna cream, payet, bordir, mengembang, mataku tak bisa menahan ada rasa aneh yang menciut. Tak ada satu kata yang pas kecuali SAKRAL. Pernikahan adalah hal yang sakral. Semakin aku memegang banda-benda berunsur cinta semakin aku geram. Aku harus dipaksa melihatnya tak pernah bersanding denganku. Setiap hari diberondong pertanyaan ‘kenapa Tuhan tak pernah adil’. Air mataku menetes.
Kris lalu Sehun.

Ada yang mendekapku dari belakang. Sehun seolah merasakan kepedihanku. Tubuhnya begitu hangat seolah-olah kita pasangan yang akan menikah kemudian bertengkar perkara gaun pernikahan, lucu sekali. 

“Aku tidak akan mempercepat pernikahan jika akan ada yang merasa kehilangan”

Detik itu juga aku terhenyak, bibirku ingin berkata jujur bahwa akulah wanita yang harus kau nikahi bukan dia “Kau bicara apa?” tapi nyatanya tak pernah sama.

Mungkin ini yang namanya tak berjodoh. Ketika hati kecilmu mampu memberontak bahwa yang kau lakukan selama ini adalah salah dan berangsur-angsur menyakitimu, maka di titik itulah kau harus berhenti mengikuti egomu. Ego yang selalu membuatmu terlena. Memaksakan yang seharusnya tak dipaksakan. 

“Kau harus menikahi Na Eun secepatnya” Ada ketegasan dalam diriku. Kali ini aku memang harus melepasnya.

****

Di sebuah ruangan kami dipertemukan tanpa Na Eun. Iya, hanya kami berdua. Dia mengenakan tuxedo putih, sangat tampan. Aku hanya bagian terkecil dalam hidupnya, duri yang mengganjal pada hubungan 4, 5 tahunnya dengan Na Eun. Pipiku memerah, menatapnya seperti aku hampir tak kuasa. Gemetar.

Ku peluk Sehun dengan sangat mantap “Akhirnya kau sudah menikahi, Na Eun” Air mataku menderu seketika. Menyaksikan setiap prosesi pernikahan. Merekam senyuman Na Eun kala itu, manis sekali. Lebih dari itu, Na Eun beruntung mendapatkannya, pria seperti Sehun. Ciuman tanda resmi menikah mengakhiri rasaku. Sehun dan Na Eun berciuman tepat di depan mataku.

“Kau yang memberiku jalan untuk menikah dengan Na Eun”

“Iya, memang itu seharusnya, seperti dulu ku bilang segala kebutuhanmu terpenuhi dengan Na Eun. Bukan hanya kasih sayang tapi segalanya. Kau harus berusaha menekan egomu, kau sudah menikah sekarang” Semakin erat dekapanku, tangisanku pula semakin menjadi-jadi.

“Andai saat itu kau memberiku celah, aku mungkin akan memperjuangkanmu” terselip rasa perih pada suara Sehun.

“Hei, memang sejak awal kita tak pernah berjodoh. Kita rekan bukan” Kuusap air mataku. Ku tepuk pundak pria ini. Mendengar kalimatnya aku tak pernah sanggup. Berusaha membesarkan hatiku. Menghentikan nafsu untuk memilikimu. “Jika kita bersama dengan segala kesamaan kita, jalan-jalan, bersenang-senang, suatu saat kita akan bosan. Sedangkan kau dan Na Eun kalian akan berjalan inline dengan perbedaan kalian”.

Aku mencintaimu tapi tak harus bersama denganmu. Inilah kenyataannya. Lagi-lagi aku harus mengorbankan perasaanku “Kita masih bisa menjelajah cafĂ©-cafĂ© itu, tenanglah ini bukan akhir dari segalanya, kau tau di mana aku tinggal, kau bisa menghubungiku sewaktu-waktu, aku bisa bercerita padamu apapun. Na Eun tak pernah gusar. Aku yakin itu”

Ekspresi Sehun mulai melunak, mengiklaskan segalanya. Aku yakin pria seperti dia akan segera pulih. Lalu kutinggalkan dia dalam keadaan senyum terpaksa. Mendatangi Na Eun yang masih memegang buket bunga mawar. Menyapaku tampak elegan berbalut busana putih polos dengan sentuhan payet keemasan dibeberapa bagian. Aku berbisik padanya satu kalimat “Jangan pernah kau tinggalkan dia atau kau akan menyesal”

“Aku tau kau bisa diandalkan, Sanny” 

Mata Na Eun berangsur sendu, seakan memahami perasaanku. Kami sama-sama wanita, yang memberi kasih sayang. Lantas kami saling berlinang air mata dalam satu kali pelukan panjang.

****

Aku membaca kembali setiap tulisan yang tertera pada satu kolom penuh gambar renda-renda. Manis sekali. Aku tersenyum memandang undangan itu. Terpampang jelas ada nama Sehun dan Na Eun. Sekejap, Kai menekan tombol on pada radio mobilnya. 

Never should've let you go
Never found myself at home
…….
You were like my beating heart
That I, I can't control
Even though weve grown apart
My brain cant seem to let you go


Thinking back to the old times
When you kept me up late at night
We use to mess around
Laugh and play, fuss and fight
……..
I guess its too late, Im dancing this dance alone
This chapters done, the story goes on


Kenapa harus lagu ini, Wedding Dress milik Taeyang ya. Membuat suasana makin keruh.

Can't believe that you are not with me
'Cause you should be my lady
All I want is to set your heart free

But if you believe that you belong with him


Promise me, you wont let anyone hurt you

Remember, I will always be here for you
Even if it kills me to see you

In that wedding dress

Oh see you in that wedding dress


Meskipun lagu ini menggambarkan si prialah yang ditinggal menikah tapi rasanya sama. Sama sama pedih.

“Terima kasih ya sudah cukup lelah mengantarku hingga pesta pernikahan. Tak pernah menyangka kita bisa bertemu kembali tapi dipesta pernikahan seperti ini hehe” Aku tersenyum pada Kai.

“Make upmu benar-benar kacau, setelah ditinggal menikah” Kai dengan suara terdalamnya seolah-olah memahami bahwa perasaanku nyatanya sidah kandas.

“Sudahlah, kita bahas hal lainnya. Apa rasanya setelah wajib militer?”

Ckiiitttt…. Mendadak Kai mengerem mobilnya. Ku tengok jendela. Ada taman di sebelahku. Sepi, pepohonan begitu rindang. Sinar matahari sore masih asyik untuk diajak bermain. Tangan Kai meraih gagang pintu mobilnya. Dia turun dalam diam. Berputar mengelilingi mobilnya, membuka pintuku. Menyuruhku keluar.

“Ada apa? Kau ingin jalan-jalan di taman?”

“Aku memang bagian dalam kemiliteran sekarang” Dia meraih tanganku, melempar undangan yang sepertinya membuatnya muak ke bangku belakang. Kami mulai melangkah di trotoar taman, mencari tempat duduk yang nyaman.

“Hahahahaaaa….. sejak kapan kau masuk dan menjadi seorang angkatan. Pantas kau hitam sekarang. Ingat, waktu jaman kita sekolah? Kau tak pernah se-laki-laki ini” Tawaku lepas. Kai hanya memberikan senyum malunya saat itu.

Tuhan, aku mohon hentikan pertemuan-pertemuan lain yang hanya membuatku terluka.

by : Indah

Inspirated by : 50% drama, 20% friend, 10% EXO, 10% Taeyang, 10% Toilet

Note : Jangan sampe gue ditinggal nikah beneran >.< ini cuma cerita ya allah*






Selasa, 15 September 2015

Berhenti Untuk Menanti

Karena semua ini hidup.
Aku hanya ingin berhenti, berhenti untuk menunggu.
Mencoba sesuatu yang konsisten, sesuatu yang baru boleh, tapi tidak untuk menunggu.
Bosan tapi juga tak mampu menuntut. Sabar.

Dunia mengajarkanku berbagai macam hal. Tak hanya melihat dari pengalaman tapi juga belajar untuk mendengarkan banyak kisah.
Membuat satu kesalahan yang pada akhirnya seolah dicerca habis-habisan. Merasa dikecewakan dan mengecewakan, belajar bersyukur atas keadaan sesekali menuntut. Mencintai dan dicintai. Menghianati tapi pernah dikhianati. Semua rasa pernah kuterjang menjadi tidak pasti. Luap. Sampai tiada henti ku merintih, tawapun menjadi-jadi. Gila. Depresi.

Ada satu waktu aku ingin kabur. Melepas semua yang ada tapi itu sia-sia karena dengan berlari tak akan pernah menyelesaikan masalah.
Mungkin sudah saatnya bukan lagi dititik aku harus menangis tapi realistis. Menjalani yang sudah terjadi. Melalui yang sudah lewat. Melewati jalan baru, berusaha menjauhi persimpangan agar tak bimbang. Mengawali kembali. Semangat kudaki. Kata seorang sahabat “Mungkin saat ini adalah momen merangkak untuk mendaki”. Walau harus melalui sebuah penantian.

Menanti. Menanti. Menanti.
Kapan aku bisa berhenti? Berhenti untuk menanti. 

By : Indah
Inspirated by : 80% Mirror experience 15% You 5% Friend

Minggu, 06 September 2015

Last Kiss - Not in That Way

Poster by Laykim @ Indo Fanfictions Art



Rambutku sudah bau matahari sejak sejam yang lalu. Melewati beberapa blok rumah yang  tampak asing bagiku. Mencari alamat palsu mungkin. Jengkelku. Aku hanya bisa menghela nafas panjang sembari mengingat paksaan keras Ibuku yang menyuruhku merantau untuk mencari pekerjaan.

‘Sudah pergi saja ke kota selama 1 bulan penuh, ingat lamar kerja sebanyak-banyaknya. Nanti menginaplah di rumah teman ibu. Ini alamatnya. Dia tinggal sendirian. Kamu jangan merepotkan dia. Kamu boleh tinggal di sana selama 1 bulan. Kalau sudah kamu boleh pulang’

Finally, aku terampar di sini. Kota yang tak pernah lagi kutempati selama 5 tahun belakangan. Tak apa hanya sebulan. Tak akan ada hal hal yang mencurigakan di sini. Pikirku tenang. Belum kutelan semua ketenanganku, mata ini sudah tertuju pada rumah berpagar hitam, tercantum kombinasi angka dan huruf di sudut tembok pagar. B-20. Ah rumah ini yang ku cari. Sudah kepanasan, langsung saja kupencet belnya. 

Tak perlu menunggu lama, ada suara langkah kaki yang kudengar dari dalam. Aku mundur. Ada jambul rambut yang terlihat dari atas pagar. Dia tinggi. Pintu pagar mulai berderak, tergeser dan terbuka selebar tangan pria itu membentang. Terlihat wajahnya jelas. Dari atas sampai bawah. Folder dengan nama anak ingusan menguar begitu saja, tumpah memenuhi dinding ingatan. Melompat-lompat membentuk potongan memori yang pernah ada. Kami pernah bermain bersama walau hanya sebentar. Aku sibuk memasak potongan daun pisang dan kamu sibuk menjadi pedagang asongan daun kelapa. Kita pernah naik perahu di sungai belakang rumah kakekku. Kamu pernah berdarah-darah terkena bambu, aku hanya diam saja. Memalukan memang, saat kita pernah mandi bersama di satu tempat kamar mandi yang sama. Sore hari setelah bermain. Telanjang…

Dan…..Kris? Kumohon kamu sudah sebesar ini sekarang.

Pikiranku mulai terisi dengan hal hal yang membekukan. Pipiku mulai keluar semburat kemerahan. Tak pernah sadar bahwa aku hanya tertegun memandangnya sambil menikmati ingatan masa lalu. Kini tak ada satu katapun yang saling terucap. Aku menunggunya, mulutnya mulai terbuka.

 “Kim Sanny?” Tanya Kris dengan suara beratnya.

Dia tau namaku. Ingatannya lebih kuat. Dia pemalukah? Atau justru sebaliknya.

“Iya, betul” Aku menjawab seperlunya.

****

Di hari pertama aku diam saja, tunggu bukan diam saja, aku memperhatikan dan berbicara. Banyak hal. Ada sesuatu yang mendorongku terlalu banyak bicara dengannya. Sudah biasa ku lakukan, ketika berhadapan dengan orang baru setidaknya orang yang pernah ada dalam hidupku dulu. Dia pernah ada, jadi tak perlu lagi aku mengkakukan diriku. Cukup pertanyaan basa basi di awal, lalu semuanya lancar. Aku suka mendominasi di awal hubungan dengan duduk manis dan biarkan mulutku berbicara.

Itu yang kulakukan tapi nyatanya caraku ini tak pernah mempan dengan Kris. Kurasakan ada yang berbeda. Aku menggunakan mulutku untuk beramah-tamah tapi dia selalu menggunakan sentuhan and he treat me like a lady. Yup, aku berhadapan dengan player selama 1 bulan. 

“Tak perlu kujelaskan, kamu sudah tau aku tinggal sendiri, kamu bisa tidur dimana saja atau mungkin lebih memilih tidur bersamaku” Senyuman nakalnya mulai menyeringai padaku. Dia mendekat menaruh secangkir teh hangat. Begitu dekat hingga bisa kucium bau parfum maskulinnya, hidungku hampir ikut terbawa. Aku hanya menelan ludah, mencoba menenangkan hal-hal yang berbau seksual pada pikiranku. Well, mungkin aku harus berbicara tentang rencanaku ke depan.

“Jadi, ehem…rencanaku simpel. Aku sementara menjadi copywriter di salah satu web online, aku hanya butuh wifi dan secangkir kopi tiap harinya…”

“Di rumah ada wifi…” sahutnya.

“…dan tiap hari sabtu aku mengikuti semacam walk interview untuk 3 minggu dalam bulan ini. Setelah satu bulan berakhir aku akan segera pulang… ”

“Benefit yang kudapat?”

Ah..dia mulai bercanda.

“Apa? Emmm…ya aku bisa membantumu membereskan rumah atau sekedar membuatkanmu sarapan, makan siang dan makam malam?” 

Aku hanya, antara tersedak dan bingung akan menjawab apa. Lantas dia tersenyum, menatap mataku bulat-bulat. Tak ada rona di wajahnya saat memandang wanita, aku seperti merasakan hawa dingin menelanjangiku. Dia hanya butuh mengangkat alisnya “Oke, sayang”. Tangannya sudah berselancar di sela-sela rambutku. Damn, I love this man.  

****

Sejak saat itu, aku dan Kris semakin terasa dekat bukan lagi dekat tapi kita mulai tinggal satu atap. Dia pendengar yang baik, kami melakukan hal hal normal seperti pasangan kebanyakan. Pasangan? Tunggu itu meluncur begitu saja dalam mulutku tapi dia memperlakukanku seperti aku miliknya. Mungkin aku terbawa perasaan karena aku sudah lama sendirian dan bertemulah dengan pria ini, yang aku tak pernah tau sejarah bercintanya, dia seperti menyayangiku, menyayangiku? ah keluar lagi kata-kata yang tak pernah kuharapkan. Harus aku contohkan apa saja yang kami lakukan dalam satu atap itu.

Contohnya kami berbincang-bincang itu sudah jelas, sambil menonton TV yang tidak pernah kami tonton TVnya. TV hanya menyala dan kami sibuk berdua. Membicarakan hal-hal masa lalu yang pernah kita lakukan. Mengingat apa saja yang kita ingat, tapi semestinya itu tidaklah terjadi karena pada akhirnya kita juga akan saling menyakiti.

“Dulu, wajahmu tak pernah sedewasa ini…” Kepalaku sudah tergeletak tepat di depan TV.

“Banyak hal telah terjadi dan berubah…”. Tangan Kris sudah membentangkan alas tidur, mengusirku halus dengan kode gerak jari-jarinya yang  putih seperti porselen. Malam itu tak sedingin biasanya. Aku harap malam-malam berikutnya tak sedingin ini. Aku membantunya menyelaraskan alat tidur sepaket dengan selimut yang siap menghangatkan……aku hening. Tubuh Kris mendadak terhenyak di atas alas tidur itu, santai, sambil memegang remote TV kemudian mematikannya. Menatapku sewajarnya kemudian menata bantal kosong di sebelahnya dengan sangat tidak manusiawi seakan itu hal yang tidak dibuat-buat olehnya. WAJAR dan NORMAL.

“Sudah malam, besok kerja”

Jantungku rasanya ingin lompat. Kutata kembali kesadaranku dalam sebuah kata-kata yang bisa menenangkan desir jantungku yang semakin cepat. Oke, kamu tadi membantunya menyelaraskan alat tidur sepaket dengan selimut yang siap menghangatkan……mungkin jawabannya adalah tubuh kita berdua. Oh shit.

Sudah cukup ilmu kebatinan ini bersahutan, mungkin aku terlalu terbawa perasaan. Itu hal yang wajar, hanya berdampingan tak kan terjadi apa-apa. Dia berbuat mesum? Haha kurasa memang sudah ciri khasnya. Lihat saja tampang bad boy, attitute sudah level dewa apa lagi kalau bukan player. Tak ada bedanya aku dengan wanita lain, yang perlu kamu sadari itu, Sunny!!. Hanya perlu adaptasi, tak perlu munafik pada dirimu sendiri. Don’t be so hard to yourself, ikuti saja permainannya. Apa lagi yang bisa kamu perbuat jika tidak menikmati bentuk dosa terindah dengannya?. Done!.

Akhirnya dengan mencoba sewajarnya, aku berbaring di sebelahnya. Mengalir tanpa perduli hal-hal yang bertentangan. Apa rasa jantungmu setelah kamu berbaring di sebelahnya? Lebih tenang, nyaman dan lebih hangat daripada sekedar berspekulasi dengan pikiranku sendiri. 

“Aku tak pernah merasa senyaman ini sebelumnya” bisikku pelan pada Kris. Mata Kris terpejam tapi aku yakin dia masih belum terlelap.

“Apa?” Sahutnya dengan mata masih terpejam.

Aku harus berbohong “..be-sok si-ang ingin ma-kan a-pa?”

Makhluk itu menyeringai dalam diam, dia pasti tak percaya masakanku besok.

“Aku tak akan protes” Jawabnya singkat “Aku juga tak pernah merasa senyaman ini ketika tidur”

Kill me right now!
 
“Kamu merasakan ada hal aneh di antara kita?” Ku coba bertanya.

“Iya”

“Apa?”

“Aku memperlakukanmu seperti kekasihku sendiri”

Kill me twice!

****

Hari demi hari berganti, yang dalam sekarang lebih dalam. Dia bekerja, aku sibuk menjadi copywriter saat siang hari dia datang dijam istirahat hanya untuk menikmati masakanku. Tak perlu lagi kujelaskan alasan mengapa aku dengan tulus memberinya apapun, perhatian, perilaku sebaik-baiknya saat itu, bersifat sementara ataupun selamanya, mata hatiku tertutup untuk kecemasan lain terlebih jika aku harus patah nantinya. Saat ini yang kupahami adalah mengalir mengikuti kata hatiku. Berjalan sejalan dengan permainan darinya. Cinta dan kehadiran yang nyata dari Kris. Sosok yang selama ini hanya kutuliskan dalam sebuah blog pribadi belaka. Sosok yang selalu kuidamkan dan hanya tertuang melalui imaji cerita wanita berpikiran liar sepertiku. Dia menjadi yang terspesial diantara laki-laki lain. NYATA. 

“Sayang?” Kris memanggilku seenak hatinya dan aku seperti tak pernah menolak.

“Iya?” Singkatku.

 Tak pernah kualihkan pandanganku selain dia. Ujung rambutnya, bentuk mukanya yang tegas, ada sedikit keringat menetes di dahinya. Mungkin masakanku terlalu pedas baginya. Spontan kuusap dahinya dengan tanganku penuh perhatian. Im sick of you. Masih memperhatikan dia yang sedang meneguk segelas air yang mulai turun membasahi kerongkongan keringnya. Dia memakai kemeja jins yang paling kusuka, simpel memperlihatkan betapa jenjang lehernya. Tersambung dengan dada bidang yang paling hangat yang pernah kupeluk setiap malam. 

Baiklah aku mengaku, kini kita berdua sudah mulai berani berpelukan dalam hangatnya selimut tiap malam. Aku merasakan betapa desah nafasnya begitu dekat dengan urat leherku. Walaupun aku seperti mati suri saat tertidur, sebelum aku terlelap aku selalu memberikan waktu luangku setidaknya 10 menit untuk memuaskan mata, hidung dan jariku. 

Mata untuk melihat setiap jengkal dirinya yang tak ada jarak denganku. Hidung untuk mencium aroma tubuhnya tanpa parfum ataupun dengan parfum yang paling menjadi penantian lubang hidungku, sungguh ironi. Walaupun hanya sesekali aku menjadikan diriku seperti anjing yang suka mengendus-endus sesuatu, nyatanya aku melakukan itu. Iya, kuakui aku selalu penasaran, aku memiliki rasa lebih terhadap dirinya. Dan yang terakhir, jariku sesekali memainkan rambutnya yang tebal, turun merayapi alis matanya yang lucu menurutku, lebih turun menyentuh bibirnya yang kenyal. Dia tertidur, aku yakin dia tidak merasakan hal itu. Aku seperti orang bodoh saja, jika dia tau mungkin dia akan membenciku. Kemudian aku tersenyum tipis-tipis dan memulai untuk bermimpi. Seperti itu setiap malamnya.

“Masakanmu enak, terima kasih” 

“Enak seperti apa?” Tanyaku.

“Aku tak protes. Ketika aku tidak protes maka segalanya berjalan baik”. Kris menunjukkan senyum termanis yang pernah kulihat. When you smiled and all i could think was 'Oh shit.

Mungkinkan dia merasakan hal yang sama? Tak ku tanyakan hal itu sekarang, mungkin nanti jika kita benar-benar terlalu dalam. Atau mungkin setelah terjadi insiden. Iya insiden yang menegaskan bahwa kita sudah di luar jalur sekedar bermain sayang tanpa komitmen. Insiden itu cukup singkat tapi mendalam. 

Kita merasa ketika satu pelukan tak cukup untuk mengekspresikan seluruh rasa cinta maka kita mencoba duduk manis, awalnya hanya duduk manis. Cukup menonton TV. Sekedar curi-curi pandang. Mata Kris memang yang paling kutunggu-tunggu. Saling pandang dan bertemu. Ada sebuah daya tarik yang tak pernah kutau itu daya apa. Daya magnet tapi tak sekuat itu. Semua berjalan apa adanya.

Kris menciumku, mencium seorang Kim Sanny. Gadis copywriter, berambut panjang bergelombang, dan bermuka kusam. Begitu dalam, pekat hingga dapat kurasakan giginya bergemeretak saat dia mulai menggit bibir bawahku. Lidah kami saling bergemuruh di dalam. Auranya menjadi panas. Hambar, rasanya hambar karena bibirnya hanya sekumpul daging kenyal yang kukecup begitu lembut tapi memabukkan. Candu. 

 ****

Aku tau ini tak berjalan baik, awal dari kesenangan kami juga menjadi akhir dari segalanya. Tak butuh waktu lama. Aku mendapat tawaran untuk bekerja menjadi writer di salah satu situs online yang lebih besar dibandingkan yang sekarang. Aku menerimanya. Statusku dobel writer. Tak menyangka hobiku menjadi sebuah pekerjaan yang bukan hanya sampingan di rumah tapi sekarang kantoran. Otomatis aku harus segera pindah dari kesenanganku, dari rumah cinta seorang Kris. Teman kecilku sekaligus Sang penghibur relung hatiku. Berat. 

“Sayang, aku mendapat kerja di kantor X salah satu situs online, aku tak bisa bertahan lama di sini”

“Iya, tak apa” Singkatnya sembari membetulkan dasi pada kemeja garis-garisnya.

“Kita akan jarang ketemu, aku akan merindukan ini semua”

“Sering-sering datang kemari” Menatapku sekilas kemudian berlalu pergi.

Detik itu, aku merasa ada yang sepihak. Iya, bertepuk sebelah. Ini bukan cinta. Kuingat kembali kita tanpa komitmen lalu kutambah lagi kalimatnya. Tanpa komitmen memang bukan cinta namanya. Apalagi tak ada yang saling berjuang. 

“Datanglah kekantorku nanti” Sedikit nada penekanan kuperjelas.

“Iya, jika tidak sibuk”

I know you are the best player!

Aku membuntutinya dari belakang “Kamu tidak merindukan aku?” 

“Rindu”

“Terus?”

“Jalani saja dulu”

Its over beb..

****

Aku pindah dari rumah itu, aku kembali ke rumahku sendiri menceritakan pekerjaan baruku. Ada rasa semangat baru dalam hidupku dan rasa percayaku terhadap Kris tapi nyatanya begitu rumit. Semenjak setelah aku bekerja, hubungan kita hanya melalui handphone sekedar chat pribadi, awalnya berjalan baik tapi tanpa kusadari intensitas kami mulai menurun. Hingga tak terdengar kabar dari Kris. Kenapa aku masih mempercayainya? Semua kenyataan ini berjalan terbalik, kamu seharusnya sadar bahwa sejak awal dia bukan pejuangmu atau kamu terlalu bodoh untuk mengikuti hawa nafsumu? 

Rentetan komentar pedas dari hatiku memberondong tiada henti. Berhari-hari aku memikirkan Kris. Memikirkan laki-laki yang sudah tak pernah menghubungiku kembali. Hingga aku tak cukup berani untuk menyapanya lagi walau kita tau hanya butuh satu klik untuk bertanya “sedang apa?”. Kuputuskan untuk kembali ke rumahnya sekedar memantapkan hatiku. Meminta kejelasan atas apa yang sebenarnya terjadi. Karena 1 bulan di rumahmu sudah sangat memabukkan.

****

Sampai di rumahnya, ada suara tawa renyah mengusik telingaku. Aku tau itu Kris, Kris menyadari kedatanganku. Menyuruhku masuk seolah memaksaku melihat kenyataan bahwa dia bersama perempuan lain. Kupaksa tanganku meraih tangan gadis itu, cantik memang, sangat cocok dengan Kris. Kami berkenalan. 

“Aiko” ujarnya sangat feminim. Keturunan Jepang. Aiko tersenyum sambil tersipu malu “Aku kekasih baru Kris”.

Yep, tanpa penjelasan dan aku tak harus kembali bertanya pada Kris apa maksudnya, karena bukan salah siapapun atas kejadian 1 bulan belakangan. Hanya aku yang mahabodoh mempercayainya. Cinta memang tak butuh alasan tapi cinta memang butuh komitmen. Salah satu hal yang menjadi pelajaran, agar tak pernah lagi ada rasa sakit. Ah aku ingat salah satu quote, terucap lantang dari salah satu teman kuliahku dulu.

Without commitment its not a relationship. Maybe its not even love, its just “lets play until one of us gets bored”

Kadang yang terspesiallah yang mampu mengecewakan.

“Hai….” Aku mencoba mengatur nafas yang memburu di dadaku, air mata yang mulai naik kepelupuk tapi harus ku tahan karena Kris sudah di depanku sekarang. Hampir-hampir mencegahku pulang tapi aku harus pergi “emmm mungkin ini jawaban kenapa kamu hilang belakangan ini, 1 bulan lalu aku terbawa perasaan. Momen itu sangat berkesan buatku…tapi ketika kamu memutuskan untuk seperti ini, aku bisa apa? Kamu sudah sayang dengan dia. Percuma aku memaksa, bertanya atau sekedar marah karena hatimu sudah jatuh padanya” Masih kucoba untuk tersenyum di depan wajahnya yang rupawan. Lihat, sudah seperti ini masih saja aku memujinya. Kapan aku berhenti untuk menjadi wanita bodoh!.

“Hmmm….sekarang apa yang kamu mau?”

“Tidak ada, tapi satu hal..mencintaimu adalah satu hal yang sangat tulus ku berikan. Namun jika kamu anggap sebagai permainan. AKu ingin permainan ini berakhir” Ucapanku mulai terbata-bata “Tak pernah kusesali itu, segala bentuk perhatianmu dan hal-hal yang pernah kita lalui bersama meski singkat. Bahagialah dengan jalanmu yang sekarang sayang. Aku baik-baik saja”

Aku seakan tak percaya kita berakhir seperti ini sayang.

Seketika, aku merasa mulai membelakanginya. Tak pernah kutengok lagi wajahnya. Pria bergolongan darah A yang pernah menyejukkan hatiku. Hatiku sakit sayang. Perih. Berjalan meninggalkan hal yang seharusnya, menjauhi hal yang sejak awal kujauhi. Sakit tapi juga merasa lega. Ada hal yang telah kulepaskan, pertanyaan hatiku sudah terjawab. Aku kembali tersenyum, menghirup udara banyak-banyak. Berusaha mengisi paru-paruku. Aku harus pulih. Tak sadar aku sudah memesan banyak makanan dan minuman di sebuah café dekat rumah Kris. Ah..ternyata patah hati itu membuat kita tak pernah berjalan lurus.

****

Makanan, minuman sudah tersedia semua di meja. Aku girang bukan main, kuhirup aroma cake, kopi, jus, mini pizza segalanya. Menenggelamkan perasaan amarah bercampur rasa aku baik baik saja. Aku yakin akan ada cerita baru yang akan segera di mulai. Headset sudah terpasang ditelinga, alunan music Taylor Swift berjudul Last Kiss berputar ditelingaku berlanjut Sam smith- Not In That Way.

And I hate to say I love you
When it’s so hard for me
……
I’d never ask you ‘cause deep down I’m certain I know what you’d say
You’d say, “Im sorry, believe me, I love you but not in that way

Lagu itu benar-benar menunjang kondisiku saat ini. Lantas mau apa selain kunikmati? Kuraih jusku dengan sekali pegangan kuteguk sepuasnya. Ada bayangan tinggi tepat diwajahku membuat mataku menyipit saat sedang minum jus. Kris?
Oh..ternyata bukan.

Pria bermuka pucat itu menunjuk dadanya. Memamerkan kedua alis tipisnya yang naik turun “Maaf, sepertinya kamu harus ganti meja karena ini sudah di reservasi atas nama Sehun!”  

Sejenak kupandangi dia dengan tatapan sinis tapi entah mengapa berangsur pulih ketika kuamati alisnya yang naik turun kembali normal. Kemudian ceritaku, pertengkaran antara Kim Sanny dan Sehun dimulai.

Sudah kubilang kan, selalu ada cerita yang terus berulang entah itu orang baru atau orang lama. Cerita soal cinta.

The End

By : Indah
Inspirated by : 50% mirror experience, 10% drama, 10% friend, 10% Taylor Swift, 10% Sam Smith, 10% Toilet.
Note : 
Ini One shot tapi kayak bukan One shot pasti ada cerita selanjutnya :D