Poster by Laykim @ Indo Fanfictions Arts
Chapter sebelumnya >>
Last Kiss 1
Pria bermuka pucat itu menunjuk dadanya. Memamerkan kedua
alis tipisnya yang naik turun “Maaf, sepertinya kau harus ganti meja karena ini
sudah di reservasi atas nama Sehun!”
Sejenak kupandangi dia dengan tatapan sinis tapi entah
mengapa berangsur pulih ketika kuamati alisnya yang naik turun kembali normal.
Kemudian ceritaku, pertengkaran antara Kim Sanny dan Sehun dimulai.
Sudah kubilang kan, selalu ada cerita yang terus berulang
entah itu orang baru atau orang lama. Cerita soal cinta.
****
Setelah dengan Kris, aku melanjutkan hidupku dengan-Nya.
Bukan dengan yang maha kuasa tapi Sehun. Pria baru dengan kisah yang baru.
Penyakit lama Sehun kembali, bukan Sehun namanya jika kamera
tak selalu dilehernya. Penampilan acak kadut seenak dirinya. Asal jepret sekenanya
tapi tak pernah meleset. Seharusnya dia yang menjadi model tak perlu dia
berprofesi menjadi fotografer, apalagi fotografer makanan. Iya, 6 bulan lalu kami
bertemu di sebuah café dekat rumah Kris. Jangan ingat soal Kris bukan momen
yang pas untuk diingat kembali. Singkatnya, aku sudah lupa mengapa sekarang aku
dan Sehun bisa seakrab ini. Aku hanya ingat, Sehun pernah beradu mulut perihal
meja yang telah ia pesan, dia bersikeras untuk mempertahankan mejanya itu hanya
karena untuk mendapat angle yang pas bagi lensa kameranya. Alih-alih mengusirku
dari meja itu , dia hanya tersadar bahwa aku cukup pantas untuk dijadikan objek
tambahan pendamping objek utama dia yaitu makanan yang kupesan. Sedikit sakit
aku hanya sebagai sampingan, dari situ lah kami mulai berkenalan dan bercerita
ini itu hingga sekarang.
“Dimana? Pulang kantor jam berapa?” Suaranya yang berat
menguar ditelingaku.
“Kenapa? Ada cafĂ© baru?” Singkatku.
“Iya, Jam 8 malam ya?”
“Oke”
Kalau ada maunya selalu seperti ini. Kesalku melalui
handphone yang sekarang berbunyi tut panjang. Ku kemas barangku, persiapan
pulang kantor. Jika kalian mengikuti kisahku sebelumnya kalian pasti sudah
paham apa profesiku. Iya, writer. Save draft dan ayo makan-makan bersama Sehun.
Senyumku selebar buah semangka yang siap digigit, sangat lebar. Kenapa senyumku
begitu lebar setiap kali bertemu dengannya. Lagi-lagi aku harus bergelut dengan
adegan-adegan yang mengganggu perasaanku.
Waktu berlalu cepat. Jam 6 kemudian jam 7. Bercermin. Sudah
siap menunggu sosok Sehun. Pria dengan wajah kekanak-kanakkan. Berbeda dengan
Kris. Tak ada unsur ketegasan dalam dirinya. Lembut dan segalanya begitu cepat.
Gerak gerik dan cara bicaranya. Aku suka bermain dengannya, sangat suka hingga
lupa waktu. Hampir setiap minggu sekali, dia menjelajah café-café baru,
menjajakan beberapa hasil fotonya ke….aku tidak pernah tau sistem bisnis
fotografinya seperti apa, yang ku tau wajahku selalu menampang disetiap lembar
bingkai fotonya bersama makanan dan minuman yang penataannya mengandung estatika.
Teeettt….suara bel rumahku berbunyi. Tepatnya rumah yang
kusewa selama aku bekerja. Sehun sudah berangsur masuk begitu saja, wajahnya
tak lepas dari aura cerah.
“Welcomeeee” Mengayun-ayunkan kamera uniknya itu.
“Aku yang seharusnya bilang begitu” Ramahku padanya. Aku
selalu saja mengijinkan sikapnya yang tak pernah sopan.
“Betapa dirimu sudah sangat sempurna bersanding dengan steak
daging yang siap kau santap. Rambut kuncir kuda dipadukan dengan kostum
yang…”Sehun berhenti sejenak, menganalisis sesuatu yang tampak seolah-olah
salah dimatanya, “sangat sangat biasa. Kenapa tak coba pakai mini dress yang
sedikit elegan..jangan terlalu simpel aahh terlalu casual”. Dia mendesah.
“Kau berani bayar aku berapa?”
“Bayar dengan cinta” Ujarnya genit sembari mengguncangkan
tubuhku yang terlewat mungil dihadapannya.
Ahh..sudahlah. aku menggerutu dalam diam.
Bola mataku berputar. Berusaha mengabaikan ocehannya, hanya
berusaha tapi tetap saja seruannya membuatku senang. Aku terlalu takut untuk
mengakui bahwa aku jatuh cinta lagi. Aku sudah melupakan Kris begitu singkat.
Kemudian aku diberi pria baru, tak ingin terlibat lebih jauh tapi dia dengan
sangat mulus masuk-masuk ke celah yang lebih dalam dari pada Kris. Aku harus
cuek.
****
“Minggu depan aku harus mengajakmu ke suatu tempat”
“Kemana?”
“Survei restoran lagi, untuk ini…” Sehun mengeluarkan
sesuatu di sakunya, sebuah kotak mungil yang sangat manis berwarna keemasan.
Aku langsung menyadari apa isinya. Kotak cincin itu terbuka sekarang, rasanya
aku kesemutan. Kupegang dengan erat sementara Sehun fokus pada kemudi mobilnya.
Tak perlu ku gambarkan betapa indahnya cincin itu. Terasa begitu kecil tapi
menawan, tipis tapi menyakitkan. Ada cahaya berpendar dibalik ukirannya. Ukiran
nama Na Eun. Ini alasan kenapa aku harus menjadi cuek, tak lagi mempertanyakan
dan mengusahakan apapun. Kita sebatas rekan.
“Kapan kalian akan meresmikan?”
“Entahlah 1 bulan lagi mungkin, Na Eun terlalu sibuk…” Ada
nada kecewa dalam diri Sehun, teramat sangat berat untuk melanjutkan
hubungannya. Hatiku cukup berteriak, maka putuslah sekarang!
“Kau sudah bicara banyak hal soal Na Eun, hubungan kalian
hanya terpisah jarak. Sudah hampir 4 tahun kalian lalui apa yang perlu kau
cemaskan?” Sanny kau harus tegar, jangan menjadi jahat seperti Kris. Jika iya
maka kau sama saja dengan Kris.
Perlu ku lukiskan sosok Na Eun begitu cerdas, wanita
sempurna tapi kaku. Kaku untuk bersenang-senang seperti Sehun. Dia tipe wanita
karir yang sangat detail akan masa depan. Serius tapi hangat, dewasa tapi
penuntut. Mungkin satu kata untuk Na Eun, pemimpin. Tampak kontras dengan
Sehun. Anehnya hubungan mereka sudah 4 tahun. 2 bulan sekali mereka bertemu.
Aku pernah bertemu dengan nya sekali, kami langsung akrab. Dia percaya padaku
seketika, senyumnya masih ku ingat. Senyum keibuan yang membuat Sehun tak
pernah bisa tinggal diam mengusahakan hubungan mereka. Begitu juga denganku
yang tak pernah tega mengakui bahwa aku mulai menyukai kekasihmu.
“Jika cincin ini tak pernah sampai di jarinya, aku tak
pernah tau siapa penggantinya. Mau kah kau…”
“Maka sampaikanlah! Antarkan! Nikahi dia. Done! Hyaaa…kau
membuatku frustasi” Aku harus memotong Sehun cepat-cepat sebelum dia mulai
membuatku hilang akal. Dia hanya tertawa.
Sampai di restoran yang dituju, aku mulai tenang. Di hadapkan
dengan berbagai macam orang yang kelaparan. Kami mulai memesan makanan sesuai
kebutuhan kamera Sehun. Selagi menunggu steak yang diidam-idamkan, dia masih
mengoceh soal ‘kekurangan’ Na Eun. Betapa Na Eun tak pernah mengerti kesenangan
Sehun selama ini. Na Eun tak bisa diajak bersenang-senang, dinner time, photo
shoot, melihat konser….
“Setidaknya kami menikmati waktu nonton seperti pasangan
lain, nyatanya tak pernah ku dapatkan hingga aku bertemu denganmu, Sanny”
Na Eun. Na Eun dan Na Eun. Aku mulai muak.
“Sepertinya dia tak pernah memikirkanku lagi, menganggap
semuanya mengalir. Pria juga butuh kepastian” Dia mulai mendramatisir.
Muncul raut wajah sendu di sudut matanya. Hatiku teriris.
Andai saja tak pernah ada Na Eun saat kita bertemu. Aku bisa membuatmu lebih
bahagia tapi tidak dengan hatimu sayang. Tidak dengan kebutuhanmu. Semakin kau
mengumbar soal Na Eun semakin terkoyak hatiku, semakin aku tau betapa kau
mencintainya. Alih-alih membenci tapi kau hanya frustasi, ada rindu terselip
dalam dadamu. Kau lampiaskan padaku, yang hanya seperti bayangan. Mencintaimu
dari belakang.
“Maka dewasalah, pastikan semuanya baik-baik saja. Ketika
pria tak mampu menunggu jangan berharap untuk mencari pengganti sebagai solusinya,
tapi kejar dia. Aku hanya meyakini Na Eun di sana juga mengharapkan kedatanganmu
membawa cincin itu. Kalian sama sama bimbang” Responku membuat dia terbelalak.
Sejenak Sehun diam, memandangku seperti asing. Menelaah
setiap kalimat yang kulontarkan. Aku mendadak takut ketahuan bahwa semua yang
kuucapkan tadi hanyalah sia-sia. Nyatanya, masih tersimpan kebohongan dalam
diriku.
Steak yang dia pesan datang, masih panas. Asapnya mengepul.
“Aku lapar, selesaikan jepretanmu lalu kita menyantapnya dan
pulang” Aku membujuknya, membuatnya sedikit teralihkan “Minggu depan tak hanya
restoran romantis untuk Na Eun tapi kita bisa ke rumah gaun untuk memberikannya
sedikit kejutan. Aku punya banyak link untuk memilihkan gaun mana yang tepat
untuk upacara pernikahan kalian” Aku menawarnya lagi, memaksakan hal-hal yang
membuatku semakin terkoyak.
Sehun mengangguk pasrah, seketika handphoneku berdering.
“Hallo? Hei…apa kabar? Kau sudah lama tak menghubungiku.
Mungkin sejak 5 tahun yang lalu” Senyum ku berdesir renyah tepat di depan Sehun
yang sibuk menuang saus barbeque di atas steakku. Kutangkap lirikan matanya
sesekali ke arahku saat aku merespon panggilan telpon.
“Iyaaa…tentu saja. Oh ya? Mungkin kita harus bertemu untuk
saling bercerita” Aku berlama-lama.
“Siapa?” Sehun dengan tatapan penasaran bertanya setelah
kuakhiri telponku.
“Teman lama, masa lalu…ah jangan diingat”
“Kris?”
“Bukan”
“Dia tidak pernah menghubungimu lagi?” Kini Sehun
seolah-olah menyibukkan diri dengan settingan kameranya.
“Tidak, ehmm…sekitar 1 bulan yang lalu. Dia menanyakan
kabarku, kukatakan aku baik baik dan aku tidak merespon dia kembali” Aku mengulum senyum masam "..yang tadi itu Kai, teman sekolahku dulu"
Sehun menatap mataku begitu dalam, memikirkan sesuatu.
“Cemburu?”
“Iya”
Rasanya seperti melambung.
****
Aku hanya menyadari bahwa hidup terus berputar, I’m still 23
dan akan banyak kisah yang harus kujelajahi sebelum menemukan satu yang paling
tepat di antara sekian macam drama percintaan. Itu hanya pikiran logika, tapi
logikaku selalu dikalahkan oleh perasaan yang terlalu menggebu. Kutampar
wajahku pelan-pelan. Sadarlah, Sehun akan segera menikah dan kau tak mungkin
menghalanginya, dengan mengedepankan egomu untuk merebut wanita yang keibuan
seperti Na Eun. Meskipun Sehun mulai membuka hatinya padaku. Aku mulai
mengacak-acak rambutku geram di depan cermin setinggi 2 meter dalam kamarku,
kemudian melompat kaget saat Sehun menerjang masuk seperti rumahnya sendiri.
“Kau harus belajar memahami apa itu ‘mengetuk pintu’ boy!”
Ada yang menunda kedatangan kami ke rumah gaun. Baru
terlaksana 1 bulan kemudian. Bukan ada yang menunda tapi akulah yang tak pernah
mampu membawanya ke rumah itu. Maaf Na Eun aku egois. Benar, aku mencintai
kekasihmu. Selama 1 bulan kemarin, tiap minggunya aku hanya berputar-putar menikmati
kesenangan sementara, hatiku tak pernah bisa kukendalikan. Kami hanya saling
mengulur-ulur perasaan. Mendalami hal yang tak seharusnya. Aku yang selalu menyokong Sehun, menikmati keinginannya. Tapi
percayalah Na Eun dia masih membutuhkanmu. Aku akan mundur.
“Kenapa kau sebut rumah gaun?” tanya Sehun penasaran.
“Karena ini tempat yang membahagiakan untuk para wanita.
Wanita mana yang tak bahagia jika pria idamannya, menggandengnya masuk ke
ruangan penuh dengan gaun pernikahan”
Hanya aku wanita satu-satunya yang tak bahagia melihat
realita ini.
Saat itu, entah apa yang merasuki Sehun. Dia tidak seperti
biasanya. Ada yang masih menyelimuti pikiran dan hatinya. Kami berkelana
mencari gaun yang cocok untuk Na Eun. Sejenak mengubur perasaan masing-masing.
Kupilah-pilah kain-kain yang menjuntai itu, renda, warna cream, payet, bordir,
mengembang, mataku tak bisa menahan ada rasa aneh yang menciut. Tak ada satu
kata yang pas kecuali SAKRAL. Pernikahan adalah hal yang sakral. Semakin aku
memegang banda-benda berunsur cinta semakin aku geram. Aku harus dipaksa
melihatnya tak pernah bersanding denganku. Setiap hari diberondong pertanyaan
‘kenapa Tuhan tak pernah adil’. Air mataku menetes.
Kris lalu Sehun.
Ada yang mendekapku dari belakang. Sehun seolah merasakan
kepedihanku. Tubuhnya begitu hangat seolah-olah kita pasangan yang akan menikah
kemudian bertengkar perkara gaun pernikahan, lucu sekali.
“Aku tidak akan mempercepat pernikahan jika akan ada yang
merasa kehilangan”
Detik itu juga aku terhenyak, bibirku ingin berkata jujur bahwa
akulah wanita yang harus kau nikahi bukan dia “Kau bicara apa?” tapi nyatanya
tak pernah sama.
Mungkin ini yang namanya tak berjodoh. Ketika hati kecilmu
mampu memberontak bahwa yang kau lakukan selama ini adalah salah dan
berangsur-angsur menyakitimu, maka di titik itulah kau harus berhenti mengikuti
egomu. Ego yang selalu membuatmu terlena. Memaksakan yang seharusnya tak dipaksakan.
“Kau harus menikahi Na Eun secepatnya” Ada ketegasan dalam
diriku. Kali ini aku memang harus melepasnya.
****
Di sebuah ruangan kami dipertemukan tanpa Na Eun. Iya, hanya
kami berdua. Dia mengenakan tuxedo putih, sangat tampan. Aku hanya bagian terkecil
dalam hidupnya, duri yang mengganjal pada hubungan 4, 5 tahunnya dengan Na Eun.
Pipiku memerah, menatapnya seperti aku hampir tak kuasa. Gemetar.
Ku peluk Sehun dengan sangat mantap “Akhirnya kau sudah
menikahi, Na Eun” Air mataku menderu seketika. Menyaksikan setiap prosesi
pernikahan. Merekam senyuman Na Eun kala itu, manis sekali. Lebih dari itu, Na
Eun beruntung mendapatkannya, pria seperti Sehun. Ciuman tanda resmi menikah
mengakhiri rasaku. Sehun dan Na Eun berciuman tepat di depan mataku.
“Kau yang memberiku jalan untuk menikah dengan Na Eun”
“Iya, memang itu seharusnya, seperti dulu ku bilang segala
kebutuhanmu terpenuhi dengan Na Eun. Bukan hanya kasih sayang tapi segalanya.
Kau harus berusaha menekan egomu, kau sudah menikah sekarang” Semakin erat
dekapanku, tangisanku pula semakin menjadi-jadi.
“Andai saat itu kau memberiku celah, aku mungkin akan
memperjuangkanmu” terselip rasa perih pada suara Sehun.
“Hei, memang sejak awal kita tak pernah berjodoh. Kita rekan
bukan” Kuusap air mataku. Ku tepuk pundak pria ini. Mendengar kalimatnya aku
tak pernah sanggup. Berusaha membesarkan hatiku. Menghentikan nafsu untuk
memilikimu. “Jika kita bersama dengan segala kesamaan kita, jalan-jalan,
bersenang-senang, suatu saat kita akan bosan. Sedangkan kau dan Na Eun kalian
akan berjalan inline dengan perbedaan kalian”.
Aku mencintaimu tapi tak harus bersama denganmu. Inilah
kenyataannya. Lagi-lagi aku harus mengorbankan perasaanku “Kita masih bisa
menjelajah café-café itu, tenanglah ini bukan akhir dari segalanya, kau tau di
mana aku tinggal, kau bisa menghubungiku sewaktu-waktu, aku bisa bercerita
padamu apapun. Na Eun tak pernah gusar. Aku yakin itu”
Ekspresi Sehun mulai melunak, mengiklaskan segalanya. Aku
yakin pria seperti dia akan segera pulih. Lalu kutinggalkan dia dalam keadaan
senyum terpaksa. Mendatangi Na Eun yang masih memegang buket bunga mawar.
Menyapaku tampak elegan berbalut busana putih polos dengan sentuhan payet
keemasan dibeberapa bagian. Aku berbisik padanya satu kalimat “Jangan pernah
kau tinggalkan dia atau kau akan menyesal”
“Aku tau kau bisa diandalkan, Sanny”
Mata Na Eun berangsur sendu, seakan memahami perasaanku.
Kami sama-sama wanita, yang memberi kasih sayang. Lantas kami saling berlinang
air mata dalam satu kali pelukan panjang.
****
Aku membaca kembali setiap tulisan yang tertera pada satu
kolom penuh gambar renda-renda. Manis sekali. Aku tersenyum memandang undangan
itu. Terpampang jelas ada nama Sehun dan Na Eun. Sekejap, Kai menekan tombol on
pada radio mobilnya.
Never should've let you go
Never found myself at home
…….
You were like my beating heart
That I, I can't control
Even though weve grown apart
My brain cant seem to let you go
Thinking back to the old times
When you kept me up late at night
We use to mess around
Laugh and play, fuss and fight
……..
I guess its too late, Im dancing this dance alone
This chapters done, the story goes on
Kenapa harus lagu ini, Wedding Dress milik Taeyang ya.
Membuat suasana makin keruh.
Can't believe that you are not with me
'Cause you should be my lady
All I want is to set your heart free
But if you believe that you belong with him
Promise me, you wont let anyone hurt you
Remember, I will always be here for you
Even if it kills me to see you
In that wedding dress
Oh see you in that wedding dress
Meskipun lagu ini menggambarkan si prialah yang ditinggal
menikah tapi rasanya sama. Sama sama pedih.
“Terima kasih ya sudah cukup lelah mengantarku hingga pesta pernikahan. Tak pernah menyangka kita bisa bertemu kembali tapi dipesta pernikahan seperti ini hehe” Aku tersenyum pada Kai.
“Make upmu benar-benar kacau, setelah ditinggal menikah” Kai dengan suara terdalamnya seolah-olah memahami bahwa perasaanku nyatanya sidah kandas.
“Sudahlah, kita bahas hal lainnya. Apa rasanya setelah wajib
militer?”
Ckiiitttt…. Mendadak Kai mengerem mobilnya. Ku tengok
jendela. Ada taman di sebelahku. Sepi, pepohonan begitu rindang. Sinar matahari
sore masih asyik untuk diajak bermain. Tangan Kai meraih gagang pintu mobilnya.
Dia turun dalam diam. Berputar mengelilingi mobilnya, membuka pintuku. Menyuruhku
keluar.
“Ada apa? Kau ingin jalan-jalan di taman?”
“Aku memang bagian dalam kemiliteran sekarang” Dia meraih
tanganku, melempar undangan yang sepertinya membuatnya muak ke bangku belakang.
Kami mulai melangkah di trotoar taman, mencari tempat duduk yang nyaman.
“Hahahahaaaa….. sejak kapan kau masuk dan menjadi seorang
angkatan. Pantas kau hitam sekarang. Ingat, waktu jaman kita sekolah? Kau tak
pernah se-laki-laki ini” Tawaku lepas. Kai hanya memberikan senyum malunya saat
itu.
Tuhan, aku mohon hentikan pertemuan-pertemuan lain yang
hanya membuatku terluka.
by : Indah
Inspirated by : 50% drama, 20% friend, 10% EXO, 10% Taeyang, 10% Toilet
Note : Jangan sampe gue ditinggal nikah beneran >.< ini cuma cerita ya allah*