Minggu, 23 Juni 2013

Si Penjaga Mimpi

Bintik bintang tetap pada posisinya yang menjemuhkan. Bulan juga tampak standar-standar saja bentuknya. Bulat seperti bola mata, pancarannya makin terang saat menginjak tengah malam menjemput pagi. Bahkan ini sudah pagi. 00.30 wib. Jariku tak merasakan apapun, kebas setelah 2 jam memetik benda berwarna eksotis ini. Mata dan otakku sudah mulai tak sinkron . Terasa berat, Gambarannya mulai kabur, aku tidak berada disini lagi diruang 3x3 ku. Ada rasa yang menyesakkan. Penyakit tengah malam. Kegalauan.

Kini aku berdiri dititik masalah. Dehaman didepan telingaku nampaknya sangat serius. Suaranya dalam menggelitik telinga. Aku menyukai suaranya tapi aku diam saja. Bukan saatnya mengagumi keberadaannya. Aku juga berteriak, memaki secara runtut masalah yang berliku. Dia menanggapi dengan kepala dingin. Tanganku mulai bergetar, kurampas handphone sialan itu. Ku tau dia adalah pengacara statusku mahasiswa. Lantas kenapa? Jangan meremehkanku.

Tuuuut…tut tut tut

Sekian kali dibuatnya kesal, hatiku masih luluh. Muncul si penelfon dibelakangku tepat setelah kumatikan telponnya. Wajahku sudah murung sambil menatap pria yang tak pernah kukenal sebelumnya. Yang selalu datang dalam bayang-bayang mimpiku tanpa sadar. Tersenyum seolah semua akan berjalan baik. Bagaimana kau bisa datang saat aku mulai merasa sendirian?  Tersudutkan? Ingin ku tawarkan berbagai macam pertanyaan dasar ala anak SMA saat perkenalan pertama, namanya siapa? Asalnya dari mana? Tapi tak ada satu katapun yang meluncur dari mulutku. Kerongkonganku sudah tertahan. Skenario ini membuatku lumpuh menyadari aku memiliki hubungan dalam dengan dia.

Ciri yang sama dengan mimpi-mimpiku sebelumnya. Dia dengan postur tubuh lebih tinggi dariku, jauh lebih tinggi. Ada hubungan dengan keluargaku sebelumnya terutama kakak laki-lakiku. Sepertinya mereka berteman. Aku hanya merasakan tubuhnya yang proporsional namun sangat melindungiku. Rambutnya hitam jabrik dengan wajah yang kabur hanya senyumnya yang mengindah. Siapa? Yang paling mendebarkan adalah aku mencintainya.

Gerakannya sangat cepat, merengkuh tubuhku dalam sekali sahutan. Berbisik pelan ditelingaku “Semua akan baik-baik saja. Masalah sudah selesai”. Detik itu, aku bisa merasakan aroma tubuhnya yang begitu maskulin, sentuhan jari jemarinya di rambutku. Skinship yang ia berikan terasa nyata. Meringankan setiap beban yang kupanggul. Bodyguard dalam mimpi? Adakah? Bahkan aroma tubuh dan suaranya aku bisa rasakan? Ini gila.
Alurnya berubah seketika. Aku kembali sendirian melanjutkan aktivitas kampusku. Aku masih ingin melihatnya ingin bersamanya. 

Aku berusaha biasa saja. Dalam sebuah keramaian yang memekakkan aku diselimuti kebosanan untuk kesekian kali. Kampus sepertinya ada kegiatan besar dan aku mengabaikannya, tak ingin masuk didalamnya. Mataku menyapu semua keadaaan, kehuru-haraan nyanyian-nyayian tak menarik perhatian, hingga tertuju disatu titik. Masa lalu yang pernah membuatku luka. Masa lalu yang pernah mengisiku itu, sepertinya sudah bahagia bersama wanita lain. Dadaku terhenyak, membiarkan segalanya mengalir. Aku mendesah.

Tatapanku beralih mencari sisi sisi kosong, sudut-sudut terkecil. Ah..dia lagi. Seseorang yang sepersekian detik barusan kurindukan. Sejak kapan dia berdiri 5 meter dariku, memperhatikanku dalam keheningan. Rasanya isi perutku mau keluar. Tersipu. Apa saja yang telah ia rekam dalam ingatannya tentangku? Kelakuan bodoh yang kulakukan. Kutahan tawa malu dan rasa menyenangkan dalam dadaku. Apa apaan ini, jangan mendekat, kumohon. Aku tak ingin kita menjadi pusat perhatian saat kau berada disisiku. Aku tak ingin rekan-rekanku curiga lalu menggosip yang tidak-tidak tentang kehadiranmu. Cukup kita berdua saja.

 3 meter…2 meter baiklah 10 sentimeter. Leherku dipenuhi pergelangan tangannya yang berat. Menuntunku untuk melangkah.
“Jangan pernah melihat kebelakang”

Kutatap dia dengan sorotan tajam. Jantungku dipompa lagi oleh bibirnya yang tipis penuh dengan senyuman hangatnya. Dia memahami pikiran-pikiran anehku. Aku tak ingin punya otak jika itu terjadi.
Aku tak pernah mengenalnya. Aku tertelan oleh cara bicaranya yang cerdas. Ada dimana-mana. Vampirkah?  Aku terintimidasi oleh caranya yang kreatif mengkonstruk hatiku. Lantas aku jatuh cinta pada bayangannya.

Digenggamnya tanganku sangat erat seolah takut akan kehilangan. Jari-jarinya benar-benar pas memasuki sela jariku. Tangan yang lain menunjuk segerombolan orang-orang yang nampak sejenis dengannya. Mengkode kita akan kesana. Jika boleh kumaknai aku akan ditunjukkan dunianya. Dunia awal agar aku mulai mengenalnya. Identitas dan warna hidup yang ia miliki di mimpi-mimpi selanjutnya.

 by : Indah
Inspirated by #imagine :p


Senin, 17 Juni 2013

Kiss & Hug [Part 3]

Chanyeol menatapku menggunakan matanya yang tulus. Aku masih tak sadar dia menyayangiku secepat itu. Melihatku yang tertidur didalam cangkir karena kelelahan akan aktivitas kemarin malam mendorong hasratnya untuk merangkul tubuhku yang kecil ini dengan selimut. Bukan selimut tapi mantelnya kemudian ditambahi dengan mantel Luhan. Tunggu? Kemarin malam?.
And im not your student. No student, no teacher. Just you and me
Ada kaset yang berputar dikepalaku. Cuplikan realita yang menjadi mimpi. Suara berat Kris tertancap disaraf otakku. Insiden itu, kejadian dimana aku salah murid, ternyata Kris menggodaku. Aku tidak mengajar dia tapi adiknya, Choi Ninri yang ternyata adik tiri dari istri kedua pak rektor dan aku baru tau itu setelah penjelasan yang panjang. Setelah kemunculan Ninri  yang sama-sama bingung. Gadis lugu bermuka bulat, bermata dan berbibir kecil. Rambutnya pendek sebahu. Lebih pendek dari pada aku. Tampak perbedaan yang sangat jelas dengan fisik Kris.

Diluar itu semua, dia memang tak pernah salah dari awal. Dia memberikan jawaban berdasarkan logika dengan perhitungan jangka panjang. Khayalanku saja yang mengintrepretasikan lain. Aku pun tidak tanya dari awal. Alasan mengapa mencari guru privat juga sepele karena Kris terlampau sibuk.

“Mau ku antar pulang?” Tawarnya dengan wajah datar. Ada lonjakan didadaku.
“Tidak usah. Aku sudah dijemput” Jawabku menahan ketidaksantaian didada. Tangannya terangkat mendekati rambutku, aku mundur. Pikiranku macam-macam. Jarinya menarik gorden putih disebelahnya. Menerawang jauh kearah luar jendela.
“Seseorang sudah berdiri cukup lama disana, memang”
Lalu apa maksudnya dengan ‘Mau ku antar pulang?’ jika kau sudah tau ada seseorang yang sudah menungguku diluar. Lagi-lagi aku diperdaya. Bakatnya memang seperti ini ternyata, berpengalaman memperlakukan wanita dengan baik dan BENAR. Geramku. Seseorang? Chanyeol. Ah..aku harus segera menemuinya.

Semua berakhir pada jam 9 malam. Aku keluar dari kandang warewolf dengan selamat. Tak kuduga Chanyeol dengan mantelnya yang tebal sudah menantiku diluar pagar. Baik sekali. Kupandangi lagi rumah megah itu, ada siluet tubuh kuatnya dibalik jendela. Menatapku dalam, menelusuri gerakanku lekat-lekat kemudian beralih ke Chanyeol, tatapannya lebih tegas dari sebelumnya. Memiringkan kepalanya lalu menyeringai “Chanyeol”.

Gambaranku tentang Kris sedikit memudar. Pesta di resto XOXO semarak. Banyak yang datang untuk pembukaan. Chanyeol dan Luhan begitu bersemangat. Mereka berdua menyanyikan lagu dengan suka cita. Ada yang kurang, sosok warewolf yang baru satu jam yang lalu kutemui menimbulkan dobrakan laknat dalam hatiku. Aku mulai merindukan suaranya lalu godaanya yang canggih. Ragaku bergoyang-goyang seperti robot control tapi jiwaku melayang untuk tetap memikirkan Kris. Aku jatuh cinta, aku takut kehilangan Luhan oppa.

Tiba-tiba bayanganku kabur, ada yang mengusiknya. Rasa dingin berubah menjadi kehangatan ada bulu-bulu yang menggelitik leherku. Bulu warewolf kah? Lembut sekali aku merasa nyaman. Badanku bergemeletuk sepertinya posisi tidurku salah. Dengan sangat bangga aku memimpikan Kris. Melupakan tugas-tugas kuliahku. Tu-gas ku-li-ah? Kepalaku pening seketika, mataku terbelalak. Tubuh Chanyeol menahanku. Aku terhuyung, tebangun setengah sadar.

“Kau mimpi buruk?” Lenganku digoyang-goyang cukup keras.
“Aku terlambat kuliah” Wajahku memucat.
*****
“Rasanya aku masih mengantuk, bagaimana bisa kita tertidur di Resto karena sojukah? Luhan oppa juga tiba-tiba menghilang. Kemana dia? Baboya!” Sengitku. Sejak didalam kamar mandi untuk sekedar cuci muka, didalam taksi hingga sampai didepan kampus mulutku tak berhenti mengoceh.
“Sepertinya kau tidak bisa hidup tanpa Luhan”
“Aissh..aku ingin berbicara sesuatu dengannya tapi bukan sekarang”
“Sesekali berbagilah denganku” Matanya terpancar kesenduan. Melepas syal merah yang ia kenakan, memasangnya dileherku. “Luhan oppa..” Jarinya menunjuk kearah entah kemana. “Chanyeol oppa” Menunjuk dirinya sendiri sambil memberikan senyum menggelitiknya. “Sudah pergilah” Kedua tangannya memutar tubuhku lalu menekannya kedepan.

Termenung sebentar. Menerjemahkan kata-katanya barusan. Mengucapkan terima kasih telah repot-repot mengantar lalu melenggang pergi. Dia benar-benar serius dengan ucapannya. Muncul rasa penolakan dalam dadaku.
*****
Keberuntungan selalu menyertaiku. Kelas ternyata ditiadakan sebab dosen pengampu sastra inggrisku sedang cuti hamil. Aku ingin pulang sekedar mandi dan berdandan. Mengerjakan tugas analisis novel sastra lalu diakhiri dengan tidur yang nyenyak. Mukaku benar-benar lusuh. Konsentrasi banyak terpecah. Handphoneku tiba-tiba berdering. Telpon dari Luhan.

“Hm?” Nadaku tak bersemangat.
“Mianhae. Setidaknya kau sampai dengan selamat dikampus. Ada kuliah kah?”
Permintaan maaf langsung diterima. “Tidak ada. Oppa kemana saja? Aku ingin pulang. Dikampuskah? Ada yang ingin kusampaikan”
Kakiku berjalan disepanjang kelas-kelas. Banyak mahasiswa yang berkeliaran termasuk sekawanana dosen. Salah satu dari mereka ada yang menarik perhatianku.
“Aku dirumah hehe. Maaf aku tidak membangunkanmu tadi. Semua sudah kupercayakan kepada Chanyeol…”

Kunikmati pandanganku kepada orang itu. Kecerewetan Luhan menjadi volume paling kecil ditelingaku. Bengong. Mata kami beradu. Sama sama terkaget. Dia yang menghampiri mimpiku. Dia yang membuatku tertunduk malu seperti keledai. Kris?

“Nanti sore aku akan ke kampus. Kau ingin bicara apa? Nuna? Anyeong? Song Hyuki? Chagiya~~?” Panggilannya terlalu lantang hingga pengar rasanya. Menabrak keheningan.
“Oppa nanti kutelpon lagi” Tuut….aku salah tingkah.
“Oppa?” Tandas Kris sambil menunjukkan seringainya yang sedikit angkuh.
“Itu tadi sahabat baikku” Wajahku memerah.
“Chagiya~~?” Pendengarannya sungguh tajam. Membuatku jengkel setengah mati.
“Hanya panggilan keakraban. Kau boleh memanggilku chagiya jika kau mau” Balasku. Ada rasa tersipu dipipinya yang tirus. Aku tak pernah menolak jika dia memanggilku begitu. Ya tuhan aku benar-benar sudah gila!.
“Bagaimana jika kita minum kopi disuatu tempat? Mengakrabkan diri” Ajaknya sopan.

Sekarang aku duduk diam didalam mobilnya. Aku ingat kata-kata yang pernah ia ucapkan ‘Just you and me’ . Lagi-lagi aku harus membinasakan berbagai pikiran konyol dalam otakku. Oke mengakrabkan diri. Membiasakan untuk menerima skin ship yang selalu ia tawarkan. Pasti hal mudah bukan melihat kebiasaanku bersama Luhan dalam kehidupan sehari-hari tak perlu terbawa emosi.
Aku memulai pembicaraan. Mengatur nafas agar terlihat hidup dan lebih nyaman “Sudah berapa wanita yang pernah duduk dikursi ini?” Aku terkesiap. Pertanyaan macam apa yang kulontarkan barusan. Sontak Kris kehilangan konsentrasi mengemudinya, dipelankan pijakan gasnya. Menengok ke arahku. Membuka bibirnya.
“Berapa banyak wanita yang sudah kau ajak minum bersama?” Pertanyaan tak sopan lain membrondong keluar dari mulut tak berdosaku. Kubungkam langsung. Kris menyeringai pandangannya mencoba untuk biasa. Dia hanya bergeming.
“Aku hanya mencoba untuk jujur” Tambahku takut-takut.
“Siapa yang mengajarimu terlalu jujur? Kau telah menempelkan image bad boy padaku? Hm?”
Aku tertawan sekarang.
“Kita bahas soal perkembangan bahasa inggris Ninri saja” Aku mencari-cari alasan.
“Aku biasa membawa wanita ke rumah bukan hanya sekedar minum kopi”
Ada yang membuatku meledak dari ucapannya. Cemburu. Nadanya yang remeh begitu terkesan luas dijalan pemaknaanku. Dibawa kerumah. Wanita itu dibawa kerumah. Aku wanita dan aku tidak dibawa kerumah tapi malam itu aku dibawa masuk kerumah. Baiklah aku pusing sekarang.
“Tak usah pusing” Sepertinya dia mendengar seruan hatiku. “Banyak yang memandang image ku sangat buruk itu karena kalimat yang kuucapkan mengandung beribu makna” Kris membelokkan kemudinya sekarang. “Aku tak bermaksud demikian, aku hanya berusaha sopan tapi tetap saja mereka melabelkan sisi negatif dan tak mempercayaiku sepenuhnya”
Kami berhenti didepan kedai kopi. Kedai nya sepi tak begitu besar. Luntur sudah kesanku terhadap anak orang kaya ini. Dia punya sisi sederhana yang tak pernah kuketahui. Aku semakin suka. Akh..kata ngelantur keluar lagi dalam bayanganku. Kris turun membukakan pintu untukku. Kami masuk besamaan memesan dua cangkir kopi hangat yang dalam waktu 10 menit sudah tersedia.
“Jadi kau tidak pernah mengajak wanita keluar?” Tanyaku hati-hati.
“Pernah”
Dadaku seperti dilempar batu. Dakh
“Aku jarang mengobrol. Aku mengurusi bisnis sampingan ayah selain menjadi rektor. Aku berkomunikasi dengan klien ayahku yang kebanyakan wanita sehingga imageku kadang dinilai buruk oleh beberapa kalangan termasuk dirimu. Aku jadi asisten dosen dikampusmu. Kurasa kau baru tahu tadi”
Dia bercerita tiada henti, kurasa ini percakapan terpanjangku dengannya. Menyebutkan satu persatu kesibukan yang ia miliki. Aku luluh benar-benar luluh. Namun aku kasihan dengan kehidupan yang menurutku sangat dingin.
“Aku sering kemari sendirian jika merasa suntuk. Ikut kompetisi basket. Ninri selalu menyemangatiku. Jadi kumohon percayalah padaku” Matanya syarat akan sesuatu. “Sekarang ceritalah tentang kehidupanmu”
“Tak ada yang perlu diceritakan. Aku hidup bahagia. Aku bersahabat dengan Luhan oppa, Chanyeol oppa” Sedikit rasa sungkan saat menyebut Chanyeol sebagai oppa. “Aku suka kehangatan, aku suka kejujuran. Menurut pendapatku kau harus mengenal mereka” Kutunjukkan gigi cemerlangku kearah matanya yang kosong itu.
“Kita pergi sekarang?”
“Nae?!” Congkak untuk yang kedua kalinya.
Aku baru menyeruput kopiku tiga tegukan. Kedua jarinya terayun pada salah satu pelayan di kedai itu. Tabiatnya sangat terkontrol. Meminta bill dalam diam, mengeluarkan isi dompetnya. Apa yang ada dipikirannya?.
“Lain kali aku traktir kau minum” Ak merasa tak enak.
“Cola aku ingin cola” Dia beranjak dari kursinya. Aku mengiyakan segera. “Cola yang dijual ditaman bermain minggu depan”
What? Minggu depan? Bahkan dia lebih parah daripada Luhan yang seenaknya sendiri. Tersebar auranya yang dingin membuatku merinding. Really warewolf.
Perjalanan berikutnya menuju Resto XOXO. Tak pernah bosan aku bermain-main kesana. Nuansanya yang cheerful membuatku betah berlama-lama. Ada jadwal manggung Chanyeol. Mengingat soal Chanyeol aku jadi tak enak soal telpon Luhan yang kututup paksa. Nanti malam akan ku hubungi.
Atmosfir resto begitu ramai dan menyenangkan. Kami tiba ditengah-tengah alunan music berjudul Peterpan yang berdebam. Menambah aksen fairytail dalam resto. Cocok dengan desainnya  arsitekturnya. Penyanyinya sangat handal dengan gitar digenggaman memakai kaus v neck putih dengan setelah jas tipis terpasang pas ditubuhnya yang proporsional. Itu Chanyeol. Awalnya perasaan Kris baik-baik saja, saat mulai masuk, dia merasa tertahan. Ada yang membuatnya tak ingin bergerak. Aku melambai pada Chanyeol, dia membalasku dengan senyuman dan nyanyian yang semakin semangat.
Detik itu tangan Kris yang kaku menggandengku secara tiba-tiba. Aku terhenyak. Chanyeol melihat gelagat laki-laki yang kubawa. Matanya berubah nanar.
“Kau tidak apa apa?” Aku khawatir.
“Aku hanya tidak terbiasa dengan tempat yang seperti ini. Penuh warna” Baru kudengar suaranya yang biasa percaya diri kini kegugupan. Jantungnya berdegup kencang. Ada sedikit bulir keringat didahinya.
“Kau manusia kan? Kau tidak suka bermainkah? Lalu maksudmu membeli cola ditaman bermain?”
“Penjual cola itu ada didepan taman bermain” Jawabnya hambar. Aku menertawakannya sekarang. Genggaman tangannya makin erat membuatku meringis.
“Sepertinya kau harus masuk kedalamnya”
“Jika itu bersamamu” Tatapannya menghunusku untuk kesekian kali. Tapi kali ini lebih dalam, tergambar senyuman tipis dari bibir dan matanya tampak lebih lembut daripada biasanya.
Chanyeol hanya berpura-pura tak melihat gelagat kami, tawa yang kami umbar. Aku telah melukai hatinya, mengirisnya menjadi tak beraturan lalu mengucurkan air jeruk diatasnya. Sesekali mata Kris dan Chanyeol bertemu, seperti perang dingin. Ia menghentikan petikan gitarnya menghampiri kami. Ku sambut dengan sapaan seperti biasanya.
“Luhan oppa sedang tidak ada disini. Kau bisa berkenalan dengan Chanyeol terlebih dahulu. Ini Chanyeol dan Ini Kris. Dia kakak dari muridku yang saat ini sedang belajar bahasa inggris”
Hawanya tak sehangat biasanya ada rasa canggung diantara keduanya. Sepercik api kadang mematahkan kesan hangat tapi dengan segala keluesan Chanyeol perkenalan ini berjalan lancar. Kris memutuskan untuk pulang lebih cepat.
“ Mau sekalian ku antar pulang?” Ujar Kris kebiasaan.
“Dia, biar aku yang mengantarnya pulang” Sedikit nada ketus yang ia lontarkan.
Sempat raut wajahnya tertahan sejenak, ingin memaksaku untuk ikut dengannya. Buru-buru meleleh saat aku memberikan niatan untuk pulang dengan Chanyeol adalah rencanaku dari awal. Dia memahami dalam diam kemudian pergi.
“Ketusnya. Sudah seperti Luhan” Sewotku diakhir perbincangan.
Rasa sesak didadanya membuncah. Mimiknya seakan mengatakan jangan samakan aku dengan Luhan, jangan membela laki-laki itu. Tapi segalanya berakhir dengan desahan belaka.


TBC...

Minggu, 16 Juni 2013

Kiss & Hug [Part 2]


Pipiku bertambah gimbul, keningku meluas ada titik yang paling ku benci tumbuh kemerah-merahan ditengah-tengah jidatku. Kupencet-pencet lantas meringis kesakitan. Ish..jerawat ini. Kulempar cermin cembung kecil yang tak memuaskanku itu. Kubedaki tebal-tebal. Kemudian aku mundur beberapa langkah menatap cermin yang lebih besar dan lebih memanilpulasi kecantikanku.

Cukup puas dengan mini dress kekuningan dengan rumbai-rumbai dibagian bawah roknya. Sabuk sebesar satu inchi membentuk tubuh langsingku. Ada pita orange dibagian belakangnya. Kukenakan tas selempang kuningku. Frame kacamata terpasang ditelingaku. Rambut berponi kuncir kuda menolongku menutupi jerawat yang membengkak. Setidaknya aku cukup terlihat formal untuk hari pertama mengajar.
Kring~Kring.

“CHAGIYAAA~~~!!!”
“Baiklah. Ada kejutan apa lagi sekarang” Nadaku berbisik. Menghampiri suara yang lantang membahana. Ku buka grendel jendela, kudorong keatas. Kepalaku terjulur kemudian. Luhan sudah dibawah dengan setelan jaket dan celana pendek lucunya yang lain. Kali ini penambahan topi yang menutupi jambul merahnya terlihat seperti bukan mahasiswa. Dominasi warna orange disebelah kanan lengannya dan kuning kecoklatan dibagian sebelah lainnya. Selalu saja couple dan mematikan. Posenya duduk manis-manis sembari memainkan bel dan mengayun ayunkan stir sepeda pancal. Aku melambai padanya “Oppa!!!”.

Aku segera turun sedikit terhambat flat shoes saat berusaha memakainya.
“Tak biasanya menggunakan sepeda?” Sambutku dengan senyum yang paling ceria. Berharap bisa mengalahkan kemanisannya.
“Karena hari ini hari sabtu” Double keceriaannya menghempasku.
“Apa hubungannya?”
 “Tidak ada. Kacha~~” Menyuruhku untuk segera duduk diboncengan. Aku menurutinya dalam kebodohan yang kubuat sendiri. Saat itu angin di siang hari lebih kencang dari biasanya, membuat seluruh dandananku lebih cepat acak-acakan dari biasanya.
“Chakama~~” Suara Luhan melengking. Detik itu juga seperti menekan tombol off pada lampu dia memencet jerawatku dengan jempolnya. Membuatku berteriak.
“Hyaaa…aigooo!!!”

Tawanya membeludak. Hampir keluar air mataku karena perih. Aku tertunduk kugosok pelan-pelan dengan rambutku. Detik berikutnya Ia memasang topi hitamnya pada kepalaku. “Mianhae” Bibir tipisnya tersirat padaku. Aku melihatnya sekilas. Dengan sengaja memamerkan wajah porselennya padaku. Wajah tanpa jerawat itu membuatku sakit mata. Aku segera duduk diboncengannya, kedua tanganku berpegangan pada pinggulnya yang kecil. Tiba-tiba muncul gerakan gerakan yang membuatku harus mengantisipasi perlakuannya. Aku terperangah. Ia mengikat pinggulku dengan jaketnya. Menutupi kakiku yang telanjang.

“Siapa suruh memakai mini dress. Anginnya kan kencang” Ketusnya.
*****
Aku dibawa bergabung disebuah acara amal keluarga Luhan. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Selalu menyita perhatianku. Garage Sale. Menjual apa saja yang bisa dijual entah itu barang bekas atau pun yang baru tapi tak pernah digunakan.  Aku sibuk memilah pakaian Luhan yang masih layak pakai. Barang-barangnya yang menurutku tottaly childish dikemas dalam satu kardus penuh. Siap dijual untuk anak-anak kecil disekitar rumahnya. Sering kali disaat saat seperti ini kami bertengkar hanya karena dia tak pernah rela menjual mainannya.

“Kapan kau jadi dewasa dengan menyimpan barang-barang seperti ini” Memasukkan miniature mobil VW kedalam kardus sambil menggerutu. Ekspresinya tampak tak suka melihatku menyentuh mainan-mainannya. Ukuran kamarnya yang 5x6 itu penuh dengan rongsokan bagiku. Rapi tapi isinya tak penting. Rak buku mengenai hukum dan undang-undang tertata rapi. Baiklah itu penting tapi sisanya apa? Gudang miniature dan action figure. Tahun lalu sudah terjajah habis tapi kenapa seperti mati satu tumbuh seribu. Dua kali lipat lebih banyak.

“Aku akan dewasa dengan caraku sendiri” Mendadak jawabannya galau. Kakinya terayun-ayun diatas kamar susun yang biasa kutempati tidur waktu SMA. Melempar-lempar bola basketnya.
“Sudah lama aku tidak menginap disini ya. Terakhir kali saat kelulusan SMA” Mengingat-ingat.
“Hanya karena kau kabur dari rumah. Hanya karena kau dimarahi ibumu agar masuk fakultas kedokteran. Sungguh kekanak-kanakan” Singgungnya.
“Setidaknya aku tidak menyimpan mainan-mainan ini kan” Sindirku balik. “Segera selesaikan tugas akhirmu lalu bekerja lalu menikah” mukanya berubah masam. Aku bangkit dari zona nyamanku. Naik tangga tempat tidur, ingin menyusulnya. Pintu kemudian terbuka cepat. Sosok wanita keibuan datang membopong dua gelas besar bubble tea diatas nampan. Bentuk mukanya kecil dan melankolis mirip sekali dengan Luhan. Bedanya ada beberapa rambut keputihan yang semarak diubun-ubunnya. Memanjang sebahu.

Bubble tea time” Senyumnya sendu. Aku dan keluarga Luhan sudah erat. Ibunya sudah kuanggap ibuku sendiri. Menginap bersama hingga rekreasi keluarga bersama pernah ku lakukan. Hanya karena Luhan anak tunggal dan hanya karena dia kehilangan Chanyeol dulunya. “30 menit lagi acara dimulai, kalian jangan kebanyakan bermain” Sekedar menghidangkan minuman dingin lantas keluar lagi. Sepertinya garage sale menyita waktu untuk bercakap banyak. “Arraseo”.

“Sepertinya aku tidak melanjutkan kuliahku. Aku bosan. Slurp…” Menyeruput bubble teanya dengan santai.
“Nae? Kurang sejengkal lagi? Kau pintar oppa sangat pintar. Tugas akhir bisa kau gapai dengan mudah, didepan mata. Sayang sekali. Apa kata ibu nanti?”
Aku buru-buru menaiki tangga. Ingin mendapat kejelasan atas ucapannya yang menohokku. Duduk didepannya, memegang bubble teaku. Sama-sama menyedotnya. Mendengarkan dia dengan penuh waspada.
“Kemarin Chanyeol menginap disini kemudian pulang pagi-pagi sekali. Dia berbicara banyak tentang Resto XOXO. Dia butuh owner kedua atas usahanya. Lalu malam semakin larut dan dia berbicara banyak tentangmu juga”
“Aku tak mengerti” Mataku terbelalak.
“Resto XOXO itu miliknya”
Sejenak aku termenung “Pantas tak ada pelanggan”
“Baru akan dibuka nanti malam” Kepalanya bersandar dibantalnya yang empuk sekarang. “Setelah mengajar dia akan menjemputmu”
“Lantas apa maksud voucher berdiskon kemarin ?” Tanyaku dengan muka gemas.
“Hehe aku hanya iseng” Kepalanku meninju perutnya datar hampir tumpah segelas bubble tea dalam genggamannya, dia mengaduh pelan.
“Jangan korbankan sekolahmu disaat seperti ini. Hanya karena alasan bosan, aku tidak setuju. Kurasa orang tuamu akan mengusirmu dari rumah”
“Aku punya jalan hidupku sendiri. Aku yang memutuskan untuk meneruskan kuliahku dengan ikhlas atau tidak” Ia menegaskan.
“Oppa, memiliki impian yang unik. Memiliki restoran untuk anak-anak. Berbagi kebahagian dengan semua anak didunia. Tidak terlalu berat sebenarnya. Masih berat cita-cita menjadi dokter, pengacara, pengusaha ataupun direktur sekalipun. Resto XOXO sudah memberi setengah harapanmu bukan? Dan itu semua atas kerja keras Chanyeol. Tapi tidak bisakah dipending sebentar?” Jelasku dengan rasa mempertahankan. Ditelan ludahnya sekarang. Ia menggeleng pelan. Keras kepala.
“Sepertinya, aku tak ingin membahasnya sekarang”

Hening sejenak kucairkan suasana galaunya.

“Bicara tentangku soal apa kemarin?” Aku curiga. Kulirik matanya yang sekarang tertutup. Berpura-pura tidur tapi masih mendengarkan. Ada seringai senyuman dibibirnya yang kecil.
“Nuna, seandainya saat ini ada yang menyukaimu. Akhirnya kau punya kekasih apakah oppamu ini akan tergantikan?” Raut wajahnya mulai tak terbaca dimataku.
“Kau ini bicara apa? Bukankah aku sudah pernah bilang persahabatan itu rasanya akan berbeda dengan kisah percintaan itu sendiri”

Tubuhnya sekarang oleng menyamping. Kedua kakinya yang terayun merangkak naik. Menghalangi jalur tangga. Matanya masih tertutup. Ia menghela nafasnya perlahan. Tenang. Kuperhatikan mata, hidung dan mulutnya untuk yang kesekian kali. Aku berkedip hanya untuk memastikan Luhan tampak lebih dewasa diwaktu-waktu yang tak terduga. Takut untuk kehilangan dan merasa cemburu untuk yang pertama kali. Apa yang terlintas dalam pikirannya sekarang? Sampai tersirat rasa khawatir dimatanya meski tertutup sekalipun. Aku bisa melihat ada bayangan yang merayapi kenangannya. Kenangan bersama Chanyeol malam itu. Malam dimana aku berdua dengannya melihat bulan dari kubangan air.

Pemuda berkulit putih itu berkesempatan bertandang kerumah Luhan setelah sekian lama. Melepas kerinduan, moment pernah kehilangan serasa tak pernah mereka rasakan. Mengungkapkan unek-unek yang ada dengan basa basi yang sulit diterjemahkan. Permbicaraan dua lelaki berumur 23.

“Apa yang membuatmu membangun XOXO?” Luhan serius.
“Apa salahnya membayar rasa salahku padamu dengan membangun sebagian impian yang kau kehendaki” Suara dalam Chanyeol mengusik kecurigaan Luhan.
“Aku percaya padamu bahwa suatu saat kau kembali dengan segala kejutan yang kau bawa. Aku benar-benar kesepian. Bodohnya aku hanya percaya padamu saja. Susah untuk bergaul dengan yang lain. Sampai Hyuki datang dengan caranya yang menarik” Cerita Luhan.
“Sudah sebatas apa kau dan dia?”
“Kita akan menikah bulan depan” Goda Luhan dengan wajah bengilnya.
“Jinjjayo?” Kaki Chanyeol terhentak hampir menjatuhkan gitar yang ia sandarkan di kursi. Luhan bertepuk tangan meriah. Gembira mengetahui temannya terkaget.
“Ada apa dengan matamu? Lihat ada bias cahaya yang aneh aigo~~ bola mata yang hitam berubah warna menjadi pink. Ah..pipi, telinga dan hidungmu memerah. Pria ini hidung belang” Lawakannya membuat Chanyeol menerjang tubuh mungil Luhan. Mengangkatnya tinggi-tinggi. Luhan membuat suara teriakan. Mereka bergulat cukup lama hingga ruangan berisik kemudian lelah.
“Kemampuanku bisa merasakan hal yang berbeda dalam diri sahabatku. Termasuk dirimu yang mungkin sedang dihinggapi getaran-getaran aneh” Luhan mengatur nafasnya lelah.
“Ah..Song Hyuki. Bagaimana jika aku cemburu dengan keakrabanmu?” Celetuk Chanyeol.
“Sayangnya aku tak bisa mencintainya. Tak pernah terbelsit diotakku aku akan menikah dengannya. Aku sayang padanya, merasakan cemburu jika ada pria yang menggodanya, ingin ku lindungi walau itu hanya tiupan angin yang berputar-putar pada tubuhnya. Tapi itu bukan cinta. Melebihi apapun. Melebihi kakak dan adik, saudara kembar bahkan sepasang kekasih sekalipun” Matanya yang menatap langit-langit kini mengarah kepada Chanyeol yang berusaha menyamakan perasaannya. Menatap pria itu begitu dalam, mata Luhan berbicara dalam suasana sendu. ”Dekati dia dan temukan kehangatan didalamnya. Sisi Hyuki yang tak pernah kau temukan didalam gadis lain. Seperti magnet dan candunya luar biasa”

*****
Acara jual menjual barang tak terpakai berlangsung ramai. Mungkin yang membuat ramai adalah Luhan bersama para fans-fansnya. Tiap tahunnya selalu saja bertambah. Kenapa tidak jadi artis saja pikirku kesal. Entah sejak kapan Luhan memiliki ability penarik perhatian gadis-gadis. Setauku Luhan juga tidak berbuat apa-apa dalam hidupnya yang menyebabkan kehuru-haraan didepan rumah. Tetangganya juga ikut berdatangan seperti memang menjadi tradisi disini. Aku menikmati ini semua jika Luhan dan keluarganya juga ikut senang.

Barang terjual lumayan banyak. Hingar bingar para pembeli masih belum surut meski menjelang malam. Aku harus bergegas ke rumah pak rektor untuk pertemuan pertamaku dengan anaknya sekaligus memberi kesan yang bagus diperkenalan pertama. Kubereskan semua sisa-sisa barang yang tak laku dijual. Luhan tampak lelah semuanya bekerja keras hari ini. Tapi tugasku belum selesai. Aku pamit lebih cepat. Sosok ayah dan Ibu memberiku pelukan hangat tanda sayang dan ucapan terima kasih.

Jelas Luhan tak pernah meninggalkanku sendiri. Diantarnya menggunakan taksi kali ini. Aku tau dia kelelahan meladeni teriakan gadis-gadis SMA. Gerbang rumah pak rektor terpampang membelenggu segala isinya. Seperti rumah hantu yang remang-remang. Orang kaya.

“Jangan terlalu lelah untuk perkenalan pertama masih ada Resto XOXO yang ingin ikut dibagi oleh semangatmu” Pesan Luhan baik-baik.
“Arraseo” Gemasku padanya membuat tanganku meluncur kejambulnya yang merah. Dia mengibaskan tanganku perlahan dengan desahan anak TK. “Andwae~~. Jangan lupa nanti akan dijemput Chanyeol”.
“Nae, Gomawo” Ada yang ingin kusampaikan sebelum Luhan beranjak pergi. “Oppa..” Aku memanggilnya, dia mendengarku.” Jika aku jatuh cinta. Jika cinta membutakan mata hatiku dan sekiranya berat bagiku untuk mempertahankannya apalagi jika akan merusak hubungan kita. Cegahlah aku, pisahkan kami berdua karena aku tidak ingin kehilanganmu. Jaebal”.

Ada hentakan dihati Luhan aku merasakannya. Dia tertegun sebentar, berusaha memaknai kalimatku. Aku ingin dipeluknya saat itu juga, aku pun merasa takut. Akan ada sesuatu yang menimpaku dalam waktu dekat. Gelisah. Namun dia hanya membalas ku dengan kalimat singkatnya, dengan senyuman yang paling hangat tercurah dari perasaannya “Semua akan baik-baik saja” Kemudian kami berpisah.

*****
Perasaan apa ini? Tegang. Gugup. Dag dig dug. Cemas dan bergetar. Kurapatkan gigiku. Kuketok lagi pintu seluas dua kali pintu berukuran normal itu masih tak ada tanggapan. Rumah rektor tiga kali luas rumahku. Daebak.  5 menit berlalu aku dibiarkan diluar. Mungkin ada bel? Jangan-jangan bentuk belnya tidak bisa kumaknai itu sebagai bel atau CCTV? Ah..molla.

Suntukku perkara pintu membuahkan hasil. Tak lama terdengar gagang pintunya bergemeletuk. Pintu terbuka. Seketika kusiapkan kalimat sapaan yang bagus untuk salam pertama. Kubetulkan poniku, kututupi jerawat yang makin memerah ini. Sosok wanita ternyata yang muncul, membelakangi ku. Kutahan kata ‘anyonghaeseo’ yang hampir menghambur dari kerongkongan. Kulihat saja wanita berparas tinggi itu yang ternyata sibuk tertawa bersama pria yang kemudian mengekor keluar dari balik pintu. Mereka tidak melihatku atau sengaja untuk tidak melihatku. Aku menunggu untuk digubris.

Ketika kuamati lebih dekat pria itu sama jangkungnya seperti Chanyeol mungkin lebih tinggi satu atau dua sentimeter, kontur wajahnya lebih lonjong dengan rahang yang tegas. Rambutnya hitam jabrik sepertinya sedang trend saat ini. Matanya berpendar tajam layaknya warewolf. Setelan busana kemeja putih pressbody, bawahan celana panjang hitam. Benar-benar cemerlang. Manusia jadi-jadiankah ini.

Kenapa kudalami setiap inci tubuhnya? Melihatnya terlalu lama akan membuatku kehabisan darah. Anggapanku aku adalah calon korbanya dan dia vampir. Warewolf menjadi vampir. Otakku sudah kongslet. Bagaimana dengan suaranya? Jangan-jangan seperti Luhan. Dia anak rektorkah? Ah..dia akan jadi muridkukah? Andwae! Pemuda seperti dia pasti memiliki predikat bahasa inggris diatas rata-rata. Matanya bias akan image bad boy. Aku terlalu banyak berimajinasi. Terlalu dikelilingi laki-laki macam manekin. Terlalu mengagungkan sosoknya sampai berkedippun tidak.

“ Kris oppa. Gomawo untuk malam ini. Ku harap bisa bertemu” Ujar wanita paruh baya itu dengan genit. Sempat dia memegang pundak warewolf itu. Masih tak menganggapku ada.

Namanya Kris. Statusnya pacar orang. Tipe wanita idealnya adalah nuna nuna ini. Wanita dengan tubuh sexy dan pasti melakukan operasi plastic. Hya! Kenapa aku bisa sekejam ini. Mengenalnya saja tidak. Hilangkan hilangkan.
Secercah cahaya menyilaukan mengarah padaku. Mobil sedan hitam parkir didepanku tepat. Seorang supir membukakan pintu kemudian wanita cantik itu masuk dan melambai malu-malu kearah Kris yang hanya membalasnya dengan senyuman hormat. Tampak tak segan. Tidak ada tanda sayang jika itu kekasihnya. Aneh.
Mobil sedan itu pergi, tinggal aku dan dia. Warewolf yang membuatku terpanah. Menusukku dengan mata elangnya. Aigo.

“Silahkan masuk, maaf ada sedikit gangguan” Ucapnya ramah. Dentuman suara bassnya lebih berat dari suara Chanyeol. Parau dan penuh geraman. Fix! Manusia setengah serigala. Dan dia ternyata menganggapku ada sedari tadi. Kenapa aku jadi senang?
“An..anyeong. Ehem. Aku guru…”
“Guru bahasa inggris”
Ada apa dengan pita suaraku, mendadak serak dan melemah.

Aku masuk kedalam istana warewolf. Pak rektor memiliki selera yang bagus. Selera kebarat-baratan. Diajaknya anak biasa sepertiku masuk kedalam ruangan yang lebih pribadi. Jalannya cukup jauh melewati lorong-lorong dan sekarang naik tangga. Mencoba untuk membiasakan diri dengan kondisi ini.

“Aku Kris dan kau pasti Song Hyuki” Warewolf ini bicara dengan jantannya. Namaku disebut dengan lugas. Ada bunga-bunga dalam kepalaku yang berterbangan. Tak pernah kurasakan sebelumnya.“Klienku sepertinya tampak mengganggu ya? Tatapanmu membuatku agak tersinggung?”
Seperti tamparan keras dipipiku. Aku bukan menatapnya tapi menatapmu.
“Kau juga menatapku lebih dari  tiga detik hehe” Tiba-tiba dia terkekeh. Bunuh keidiotanku sekarang. Mulutku hanya terkatup-katup. “Mianhae, aku tak bermaksud seperti itu. Mungkin aku terlalu exited bertemu murid pertamaku” Song Hyuki kau terlalu jujur. Aku menggeleng dibalik punggungnya. Mengikuti jenjang kakinya melangkah. Dia melanjutkan tawanya yang renyah. Sejenak ada yang mengusik kepalaku.
“Tunggu, kau bilang klien? Lalu oppa?” Rasa ingin tahuku menyeruak. Mata elangnya melirikku lagi. Seperti berenang-renang mencari jawaban yang tepat. Tangannya membuka pintu tepat disebelahku.
“Kau bisa memanggilku oppa jika kau mau” Santainya. Kris melenggang masuk meninggalkanku yang mematung diluar. Mungkin dia melihat ekspresiku yang congkak. Aku sadar itu “Masuklah. Maaf tempatnya sempit”.

Standar tempat sempit baginya adalah lapangan bagiku. Aromanya benar-benar menyegarkan. Parfum? Bukan. Bau lembab yang menyegarkan. Hutan? Seperti aroma pohon pinus. Bolehkah aku terdampar diranjangnya yang tampak empuk dengan selimut-selimut bulu yang menyembul. Mataku jadi ingin tidur. Sederhana tak banyak pernak-pernik seperti kamar Luhan. Pajangan beberapa foto masa kecil. Beberapa rak buku. Meja belajar, lemari dan kamar mandi dalam. Warnanya serba netral. Ada kecoklatan, cream, biru muda dan pria seperti dia menyimpan warna feminim juga rupanya. Aku menahan tawa.

“Tidak ada sofa jadi belajar dikarpet saja sepertinya lebih menyenangkan” Simpulnya. Aku tercekat bingung menanggapi tawaranya. Entah kenapa pikiran dan otot-otot kakiku seperti tersihir. Aku duduk seperti anjing yang disuruh tuannya. Di karpet yang lembut. Otak kanan dan kiriku masih bergelut dengan gerutuan akan auranya. Tanpa aku sadari Kris dengan sangat biasa duduk manis di atas ranjang sambil memperhatikan tingkahku. Kedua kakinya menopang siku-sikunya yang kekar. Aku masih tak percaya dia anak SMA dan dia muridku. Segala khayalanku adalah sampah. Mulai kukeluarkan modul grammer yang paling ditakuti siswa SMA tanpa menatapnya.

Kris masih bergeming kemudian kudengar dia menebar senyum kecilnya. Aku masih diam, kukatubkan kedua bibirku. Kenapa dia masih duduk diatas? Mencoba menjadi guru yang baik. Kesan pertama harus terlihat ramah dan sabar.

“Anggap saja kita sudah melakukan perkenalan. Kau tau namaku dan akhirnya aku juga tau namamu” Kugunakan bahasa formal agar terlihat professional dimatanya. “Awal pertemuan aku ingin sekedar sharing mengenai kemampuan bahasa inggrismu. Apa yang susah dari pelajaran itu? Apa yang kau suka?”
Bahasa formalku agakanya terasa aneh baginya. Dia menatapku terus menerus membuatku salah tingkah. Sekarang punggungnya merosot kebawah. Berjongkok dihadapanku. Memegangi dengkulnya yang terbalut celana hitam. Luhan tolong aku.

“Mulai lah berbicara menggunakan bahasa inggris sesukamu. Dimulai dari sekarang”
My name is Kris. Iam from Canada. I like basket. I wanna be basket player. My favorit song is Angel by EXO. You know that? Just ballad song. I love this country. Really beautiful…
Sepertinya dia sudah menipuku. Tipuannya mengaburkan segala perasaanku. Mengelabuhi kemarahanku menjadi sesuatu yang aneh yang susah didiskripsikan. Dia mengoceh dalam bahasa inggris dengan standar diluar kendali. Lebih pintar dari yang kubayangkan. Mahacongkaknya aku sekarang.
And im not your student. No student, no teacher. Just you and me
Dia mengigau kali ini. Baru kali pertama kulihat warewolf mabuk. Chanyeol jemput aku sekarang kumohon.

TBC….
  




  

Sabtu, 15 Juni 2013

Kiss & Hug [Part 1]

Fanfiction : EXO
Cast         : Song Hyuki (OOC), Chanyeol, Luhan dan Kris
Genre       : Romance
Rated       : M

Enjoy the show :)

Penat. Rasanya seperti sampah. Ujian macam apa yang kukerjakan tadi, sambil menggerutu tak jelas kujejalkan kertas-kertas yang membuat kepalaku runyam kedalam tas. Melihat jam, sudah menunjukkan waktu makan siang. Menunggu anak konyol dengan muka masam ditepian trotoar kampus. Cuacanya sedang cerah tapi kenapa aku malah mendapat nilai jelek. Tumben.
Tak sabar menunggu anak konyol itu, kuberdayakan ponselku. Kugeser kuncinya, tapping menaping dimulai. Dia sering kali online Line. Iya. Line. Baru kutekan applikasinya sudah muncul saja chatku dengannya. Luhan.

Oppa…lapar~~~ cepatlah datang *aegyo*
Senyum senyum sendiri. Menggodanya adalah hal yang sesekali kulakukan. Send. Kupilih stiker yang paling cocok untuk penambahan aksen imut di chat. Sibukku memilih stiker,tiba-tiba jari telunjuk yang tak tau asal muasalnya menyerobot pilihan stiker kelinciku. Menunjuk ke arah teddy bear yang mong. Sontak aku menoleh. Ada yang menempel dibahuku. Membuatku oleng. Kepala Luhan bersandar asik disana, tersungging senyum nakalnya. Senyum yang mematikanku.

“Hya! Aku sudah menunggu lama. Aku lapar dan aku mendapat nilai jelek” Manjaku padanya.
“Nae arraseo” Jambulnya yang merah mengangguk-angguk, menyeretku pada sebuah bangku. Mengisyaratkan untuk duduk “Aku punya sesuatu untukmu, Jjajjang!!” Mengeluarkan dua lembaran kertas seperti tiket. Kubaca tulisannya ternyata voucher makan. Wajahku seketika sumringah kegirangan. Tangan Luhan menggenggamku erat melompat-lompat dipinggir trotoar seperti duo bodoh.

“Selain mendapat diskon makan, temanku dari jauh akan performent disana. Akan ku kenalkan kau padanya”
“Sippo~~” Teriakku lantang.

Kebodohan kami masih berlanjut. Pria berwajah imut itu mengambil iphonenya. Kebiasaan narsis selalu jadi yang pertama. Tangan kirinya sibuk mencocokkan cameranya “Momen mengasikkan harus diabadikan” Ujarnya. Aku dengan posisi disebelahnya berusaha menyamai tinggi bahunya. Dirapatkan tubuhku dengan tangan kanannya. Kugigit voucher makan bertuliskan ‘XOXO Resto’ diskon 50%. 1..2..3. Snap!.

Sekali dua kali berkali-kali dengan pose absurd yang berbeda-beda. Ujung-ujungnya menjadi pusat perhatian. Banyak komentar mengenai kami sebagai pasangan paling serasi di kampus. Banyak orang yang iri hati mengenai kami. Tapi kami tak pernah ambil pusing. Karena inilah kami apa adanya. 5 tahun bersama, mengukir cerita. Aku, Song Hyuki dan Luhan oppa.

“Hyuki-ya kyeopta” Memperlihatkan fotonya. Luhan apa yang membuatmu setampan ini dengan balutan kaos belel biru dongker bawahan jins sobek-sebek ke kampus. Aku hanya menggeleng.
“Kau juga tampan seperti biasanya” Balasku.

Photoshot yang barusan dilakukan adalah selingan penunda lapar. Kini kami mulai duduk didalam bis menuju Resto berdiskon tadi. Sepertinya aku sudah lupa bagaimana rasanya galau soal nilai ujian, bagaimana susahnya belajar jika ada Luhan. Kami berasal dari sekolah yang sama dari SMA hingga mahasiswa sekalipun. Sampai tak tahu hubungan kita ini seperti apa, pacar, anak kembar atau kakak adik sekalipun. Yang jelas oppa selalu melindungi ku begitu pula aku yang selalu membelanya.
Karena kondisi mulai hening, aku mengeluarkan permen membaginya dengan Luhan. Sama sama suntuk karena perjalanan yang lumayan panjang.

“Seperti apa temanmu itu? Apa aku pernah bertemu sebelumnya?” Aku buka suara.
Pria tinggi itu memperhatikanku sejenak kemudian menggeleng.
“Seperti apa dia? Laki-laki atau perempuan?”
Sekarang bibirnya yang tipis digigitnya, jari-jarinya memelintir rambutku yang terurai. Bersikap acuh tak ingin menjawab. Ku tatap matanya curiga, seketika kukuncir rambutku. Isengnya anak ini.
“Pemuda tinggi, lebih tinggi dariku. Bertelinga lebar, matanya juga lebar. Dia seorang gitaris. His name is Chanyeol. Dia sahabatku waktu kecil dan baru bisa bertemu sekarang” Dia merentangkan tangannya lebar-lebar.

Aku menghela nafas panjang, pasti predikat keimutan Chanyeol sejenis dengan Luhan. Gadis beruntung sepertiku ini patutnya dibunuh oleh fans fans mereka. Kesadaranku menjadi klimaks ketika masih ada wanita yang lebih cantik dariku yang bisa menjadi sandingan Luhan tapi apa yang membuat bocah ini memilihku. Iya karena aku yang menjadi diriku, menjawab dengan jujur ketika aku harus mengakui ketampanannya, kepintarannya mencari perhatian bahkan perasaan sekalipun bahwa aku dan dia hanya sebatas sahabat. 

“Aku ada kabar terbaru, aku diterima kerja part time mengajar bahasa inggris. Kau tau dimana?” Mataku berkedip kepadanya. “ Dirumah Pak rektor kampus kita dan aku mengajar anaknya”
“Huwooo..daebak!! anaknya masih SMA?”
“Entahlah sepertinya begitu”
“Kapan mulai mengajar?”
“Besok malam, tiap hari Senin, Rabu dan Sabtu” Aku menyebutkan satu-satu.
“Hajima~~ jangan weekend lantas kapan kita jalan jalan bersama” Tubuhnya sontak mendekapku. Merengek seperti anak usia 5 tahun. Seluruh penumpang di bis memperhatikan sesuatu yang mereka anggap mesra. Lenganku terayun-ayun keatas. “Mianhae..mianhae” Aku tertunduk malu. “Setelah mengajar kau boleh menjemputku dirumah rector kemudian kita main sepuasnya” Bisikku pelan.

Jambulnya yang kaku menggelitik leherku. “Sampai!!!” Soraknya seoalah-olah tak mendengarku bicara. Kepalanya hampir menghantamku detik itu. Untung tubuhku cukup gemulai untuk menangkisnya. Kepukul langsung kepalanya. Dia terkekeh meluluhkan rasa jengkelku.
Kami keluar dengan selamat. Tepat diturunkan di gerbang Resto XOXO. Bangunannya terkesan tua, dengan desain yang artistic. Neon-neon berwarna kuning kecoklatan terpasang berurutan di atap atapnya. Lucu. Temboknya putih gading ada ukiran simple diujung-ujungnya. Bisa dibayangkan seperti bangunan Belanda. Sangat formal.
Dengan perasaan aneh kami melangkah maju. Mata kami berkeliling melihat nuansa resto itu. Sepi tak ada pengunjung. Tatapan kami bertemu.

“Kita naik bis dengan benar kan?” Tanyanya ragu.
“Mana ku tau. Kau yang tau jalan” Kutunjuk hidung mancungnya. Disambarnya jari telunjukku dengan cepat.“Kata Chanyeol. Resto ini fullcolor. Full color darimana yang ada kita bisa cepat tua disini. Ayo kita masuk”

Terkadang aku tak pernah mengerti sikap autisnya. Umurnya yang lebih tua 2 tahun denganku tertutup sikap childish dan perangai awet mudanya. Sabar.
Kami masuk tanpa permisi tanpa sambutan dari pelayan yang biasanya menawari kami ‘Selamat datang di resto kami, ada menu special untuk pasangan yang sedang kasmaran’ sambil menunjukkan sederetan giginya. Tumben.

“Uwoooohh….” Kedua mulut kami membentuk huruf O lebar. Shock melihat apa yang disebut full color.
“Dreamland!”
“Neverland!”

Secara bersamaan dan lepas kendali kata-kata itu meluncur. Tertata rapi cangkir berukuran jumbo ditempatnya. Dua hingga empat orang bisa masuk didalamnya. Warna warni. Ada etalase berjalan disebuah mini bar didepan cangkir-cangkir itu. Terhidang macam-macam cake dan menu makanan berat. Nuansa anak-anaknya terasa. Stiker-stiker lucu tertempel didinding-dindingnya. Diujung ruangan tampak panggung mini untuk pemusik Resto XOXO. Temanya memang XOXO - Kiss and Hug. Penuh boneka dan penuh cinta. Sayangnya tak ada pengunjung kecuali kami. Ada satu tante-tante dibalik etalase, wajahnya datar seperti orang mati.

Don’t judge the book from the cover” Lugas Luhan.
“Luhan, anyeong!!”

Kubalik tubuhku mendengar sahutan keras diikuti punggung Luhan. Ia berbalik terlalu berlebihan tas ranselnya menabrakku cukup keras “aghk..” Dari wajahnya melukiskan kesenangan yang luar biasa. Iya memahami panggilan itu. Panggilan yang ditunggu-tunggu. Muncul pemuda yang masuk tanpa permisi sama seperti kami. Luhan melompat, menghambur ke sumber suara. Mendatangi pemuda yang membopong sebuah gitar.

“CHANYEOL-a!!!”

Makhluk sejenis dewa berpelukan. Aku mendesah berpura-pura tak merasakan auranya. Keduanya seperti sepasang telettubies Lala dan Po. Luhan menghampiriku kemudian menarikku “Chagiya~~” Seketika kujewer telinganya, dia meringis kesakitan. “Hehe. Park Chanyeol ini Song Hyuki. Song Hyuki ini Park Chanyeol” Kedua tangannya menepuk-nepuk bahu kami bersamaan. Kening Chanyeol mengkerut.

“Gadismu kah?” Mata Chanyeol yang sebesar biji salak menyorotku tajam. Suaranya berat dan parau memanipulasi kontur wajahnya yang kecil dan bulat.
“A..aniya. Kami sahabat baik” Sergahku.
“Semoga kita bisa menjadi sahabat yang baik pula” Timpal Luhan.
“Tapi kalian berdua memakai baju couple sama sama birunya” Chanyeol masih penasaran. Tolong hentikan semua ini batinku. Aku hanya merasa beruntung.
“Kita triple!” Telunjuk Luhan menodong dirinya sendiri, bergerak kearahku kemudian ke sahabatnya itu kemudian kami tertawa lantang. “Ahaaa~~~”

Selanjutnya kami disuguhi dengan menu makanan yang lezat. Pancake, Kentang goreng dan Bubble tea favorit Luhan tersedia disini. Betapa melebihi bayi dia sekarang. Menggodaku dengan sedotan pink, meniup niup poni tebalku saat aku sedang mencoba mengakrabkan diri dengan sosok bayi yang lain. Chanyeol. Bedanya dia lebih tidak autis dalam kondisi tertentu.

“Apa yang membuatmu berteman dengan dia?” Kurampas sedotan pink dari gigitan Luhan tanpa memandangnya. Akhirnya ia mendengarkan kami berbincang.
“Dia teman kecil yang meracuniku tentang dunia. Kemudian kita sempat terpisah waktu SMP karena aku harus pindah dan baru sekarang dengan statusnya yang mahasiswa ini kita dipertemukan lagi. Ah..rasanya….” Membenamkan wajahnya yang lucu kedalam topi putihnya, kemudian membukanya lagi memasang secara paksa ke kepala Luhan.” Rindu”
“Jika rindu maka nyanyikan sebuah lagu. Gitar dan stand mic diujung sana berkoar-koar memanggilmu oppa~oppa” Sambar Luhan dibalik topi rekannya.

Chanyeol mengangguk cepat, mengambil topinya kembali, memakainya dalam keadaan terbalik. Bangkit lalu berjalan dengan cepat ketempat yang dimaksud Luhan sebelumnya. Memeriksa stand mic itu dengan pasti. “Check it” Suaranya yang serak membahana di seluruh Resto. Hanya kami bertiga yang mendengarnya menjadi empat bersama tante-tante datar dibalik etalase.
Tampak wajahnya begitu merindukan teman lamanya. Tatapan penuh perhatian. Kadang-kadang pandangan kita juga bertemu. Dibuka tas panggulnya yang berisi gitar akustik. Sejenak aku tertarik dengan benda coklat yang bisa berdenting itu. Cemerlang dan mengkilat. Sedikit setelan pada gitarnya lalu dipetiknya dengan posisi senyaman mungkin. Duduk dikursi. Mic perlahan Ia turunkan. Petikan pertama mengudara. “Lisen to me. Yes you!” Applouse dari Luhan menderu “Wuhuuu”.
Special for you Don’t Go

Petikan dan suara Chanyeol yang berat begitu sinkron dengan perasaan sendunya sekarang. Aku melihatnya dengan tatapan mengaduh haru. Luhan yang seperti lem, anggapanku cuma aku yang dia miliki, Cuma aku yang berhak merindukannya tapi kini muncul pria ini pria dengan ability yang lebih dari aku yang hanya sekedar penikmat bulliannya, pendengar masalah hatinya kala kacau. I am totally jealous.
Anak ini memang tak bisa diam selalu overacting dan hiperaktif. Dengan ketabahanku, ku biarkan dia berkelana sendiri menghampiri temannya yang sedang mellow itu. Merebut stand micnya. Mengkode sahabatnya untuk menyanyikan lagu yang menyenangkan. Mereka bernyanyi bersama. Menghibur. Tuhan tolong hentikan waktu, aku wanita biasa yang punya perasaan meleleh saat melihat dua pemuda manis manis bermanner seperti itu. Aku hanya membeku.

“Ah, aku harus pergi. Nuna kau pulang sendirian ya?” Celetuknya menggunakan mic sehingga suaranya mengaum.
“Nae? Tapi…Nuna??”
“Aku bisa mengantarnya pulang” Sahut Chanyeol merebut mic dalam genggaman Luhan sambil menunjukkan sederetan giginya yang putih. Luhan sudah beranjak dari sisi Chanyeol. Menerobos keheningan resto dengan ketergesahannya.
“Jam 4 aku harus menemani Ibuku belanja. Mianhae. Chanyeol-a kau masih ingat dimana rumahku kan. Jam 7 aku sudah berada dirumah. Mampir ya kita mengobrol soal apapun disana” Melambai kearah rekannya yang sekarang merapikan gitarnya kembali. “Jaga chagiyaku dengan selamat”
Telingaku geli mendengar kata sayang darinya. Tolong jangan memancing para fansmu untuk membunuhku ditengah jalan nantinya.
*****
“Sudah berapa lama mengenalnya? Tampaknya kalian sudah seperti ini” Kedua jemari Chanyeol bertautan.
“Sejak SMA” Jawabku singkat.
“Aku merasa bersalah ketika aku meninggalkannya begitu saja. Aku kira aku telah kehilangan senyumnya. Dia sulit berteman dengan siapapun” Si telinga lebar itu mendecak ragu. “Aku bahkan heran tiba-tiba dia bilang akan memperkenalkanku pada gadis yang istimewa dan ternyata kau. Apa Luhan sekarang sudah punya kekasih?”
“Dia tipikal orang yang berteman dengan orang yang apa adanya. Dia punya banyak fans disekolah bahkan kampus. Perangainya yang lucu, hiperaktif dan kekanak-kanakan itu yang membuatnya menjadi center. Kami sering terkena isu negatif tapi dia malah membiarkan semuanya berlalu. Dia terlalu nyaman denganku begitu pula aku” Aku mendiskripsikan betapa serunya sahabatku itu. “Saking akrabnya aku dengan oppa. Dia pernah berkata, dia harus melihatku memiliki pasangan dulu baru dia dengan ikhlas melepaskanku lalu mencari kekasih. Aku pikir itu hanya candaannya saja”

Mata kami bertemu, sekilas dia tampak termangu. Sambil membopong gitarnya kami berjalan berdua ditengah senja. Kami memutuskan untuk berjalan sembari menikmati sore meski perjalanan kami dua kali lipat jauhnya. Ada rasa damai ketika sudah terjebak dalam percakapan yang membawamu ketempat lain. Bibir Chanyeol kini tersenyum manis.

“Hal yang sama yang pernah diucapkannya padaku sebelum aku pergi. Kau harus ingat setiap kata kata manis yang ia lontarkan, dibaliknya pasti ada maksud tersembunyi” Tegasnya. “Tapi baguslah dia memilikimu sekarang. Sahabat yang bisa dipercaya. Dia tidak pernah salah pilih sebelumnya. Dia akan sangat cerdas menebak isi hati dan pikiran orang yang baru dia kenal, orang itu berhati buruk atau tidak. Kurasa…” Chanyeol menyipitkan sebelah matanya, mengekerku dengan kamera yang ia buat sendiri dari tautan jari-jarinya. “ Kau sahabat yang apa adanya hehe”
“Sudahlah tak perlu menggodaku” Wajahku semburat kemerahan.

Jika benar ini bukan sekedar keberuntunganku berteman dengan orang-orang seperti mereka maka akan ada cerita dan konflik yang menghadangku nantinya. Bukan sekarang tapi kedepannya.

1 jam berjalan 1 kali beristirahat sekedar membeli juice jeruk. Cukup melelahkan. Bercanda perihal apapun yang bisa ditertawakan. Mengobrol apapun yang bisa diobral. Mulai dari perihal kampus, Luhan hingga keluarga. Chanyeol begitu terbuka akan beberapa hal termasuk soal sekolah musiknya, cita cita sebagai gitaris dan penyanyi handal. Sampai kami lupa waktu “Aku mendukungmu jika kau mewujudkannya. Hya..rumahku kelewatan. Maaf telah membuatmu berjalan sejauh ini. Rumah Luhan sekitar 4 blok dari sini sebaiknya kau pesan taksi”
“Aniya aku terbiasa berjalan” Matanya bias akan sinar cahaya bulan. Tunggu. Astaga memang bulan tepat diatasnya. Aku mendongak mataku silau. Ternyata cahaya lampu. Sebelum mataku terpapar cahaya neon lebih tajam ada bayangan gelap tepat diatasku. Tangan Chanyeol yang lebar melindungi mata lelahku. Ah..pria ini gelagatnya sama saja dengan Luhan. Selesai sudah.

“Ada yang salah?” Ujarnya santai.
“Ya. Mataku tak bisa melihat bulan”
Telapak tangannya dingin dan sedikit kebas. Mungkin sering bermain gitar atau dia adalah sosok orang yang suka bekerja keras.
“Kau melihat bulan yang salah” Tandas si jangkung itu. Diajaknya aku ketengah jalanan sepi. Dibawahnya ada kubangan air. Aku memiringkan kepalaku. Kebingungan. Airnya kebetulan tenang. Mukanya setipe dengan Luhan ketika melihat sesuatu yang menurutnya menarik. Aku mengiyakannya saja karena dia sudah telanjur melompat-lompat ceria. Sambil memegang topinya agar tidak terjatuh dia menyuruhku menunduk. Kuturuti saja perbuatan yang pasti adalah perbuatan mahakonyol.

Pantulan wajah kami tepat dipinggir kubangan. Siluetnya bergoyang-goyang akibat angin yang terhempas tak teratur. Sesekali permukaannya kejatuhan daun dari atas pohon membuat genangannya bergerak. Saat benar-benar tenang ada bintik kecil sebesar bola pingpong  muncul dipermukaan air. Bulan yang kucari. Bukan neon didepan rumah. Aku tertawa geli dia makin sumringah. Apa apaan ini, aku sudah kebal dengan Luhan sekarang disodorkan Luhan Luhan yang lain yang sama romantisnya. Nafasku sesak lama-lama berteman dengan mereka.

Saat aku tersipu sendiri, diam-diam Chanyeol memperhatikanku. Memperhatikan pipi chubbyku yang berdimple, lentiknya bulu mataku, tipisnya bibir merah jambuku. Rambutku yang terurai panjang tertiup angin sepertinya telah menyihirnya masuk kedalam blackhole. Tolong jangan sekarang, jangan secepat itu hatiku belum sepenuhnya bergetar.


TBC…

Maaf dan Terima Kasih

Aku sedang duduk ditaman bermain yang dulu pernah kita mainkan. Kita candakan berdua. Berisi dua buah ayunan, sekotak pasir putih dengan serangkaian ember dan sekop, perusutan yang tampak menakutkan diwaktu kita masih kecil dan sebuah jungkat jungkit yang kini sudah berkarat dimakan usia. Aku menunggumu. Menunggu kehadiranmu untuk pertama kali. Pasti dibalik ini semua ada permulaan cerita kita bukan? Teman lama yang bertemu kembali. Nyatanya tidak, hanya perasaanku saja.

Kita pernah berhubungan bukan sekedar teman bukan juga pacar tapi selingkuhan. Ah..menohok jika disebut selingkuhan. Mungkin teman yang melebihi batas lebih sopan. Hubungan pertemanan kita pernah ditenggelamkan waktu, dibenamkan angan yang mengusik kedalaman persahabatan kita. Sampai pada akhirnya kau menghilang dengan kenyataan bahwa ada perasaan tersembunyi yang kurang kutangkap sinyalnya. Perasaanmu padaku, gelombang gelombang ganas yang mematikan hatimu susah untuk kutangkap. Aku mungkin kurang peka, tapi aku berdarah O. Katanya orang berdarah O itu sensitive tapi aku tidak seperti itu. Aku hanya terlalu asik bercanda tak menggubris kode-kode perhatian yang kau umbar didepan mataku dulu.

Hasilnya adalah ini keterlambatan. Penantian ditaman bermain setelah 2 bulan lebih statusku yang menjadi bual-bualan dan hujatan. Wanita simpanan. Lebih menyenangkan jika jaman diundur dan dikembalikan menjadi aku dan kamu berstatus teman.

30 menit berlalu. Kau datang dengan motor yang tak pernah kuingat sebelumnya. Berperangai biasa-biasa saja, ada rasa hambar dikedua bola matamu. Aku menyapa dan kau membalasnya. Kita bercakap soal angin, cuaca,  cita-cita dan kehidupan. Sulit untuk memulai pembicaraan inti, tapi hatiku sudah tertata sebelumnya. Memang ini rencananya. Rencana untuk berhenti mencintaimu. Menyetop perasaan yang menguar saat kau sudah lelah mempertahankanku lagi lalu pilihannya adalah bersanding dengan kekasihmu.

Alasannya jelas, karena aku merasa terlambat mencintamu. Salahmu juga sebenarnya tak pernah ungkapkan keluh kesah rasa sayangmu dulu yang ngilu. Curangnya lagi kau hanya sendirian memendam sakitnya sedangkan aku bersenang-senang dengan kesenangan yang kugapai dan kupamerkan bahwa aku sering mendapat pacar baru tak mementingkan hancurnya hatimu. Hingga saat itu aku baru paham bahwa aku adalah cinta pertamamu. Kata itu meluncur begitu saja dari bibirmu dari bibir yang kenyataannya sudah memiliki cinta kedua setelahku. Apa-apaan? Dan bodohnya lagi aku dengan akses polos dan congkak mengiyakan segala keputusan ‘mari berselingkuh’ kita.

Mendung tipis ikut menemani, tak sanggup lagi aku berlama-lama takut hujannya turun lebih cepat dari dugaan. Momen yang tepat saat kita hening sejenak. Lalu kumulai alurnya, menyampaikan unek-unek yang menyubal kerongkongan.

“Sudah sampai sini saja bermainnya. Aku lelah” Seperti serudukan keras tepat didadanya tampak dari wajahnya yang pucat. Namun matanya dan helaan nafasnya menunjukkan ia mengerti maksudku.
“Kenapa?”
“Maaf, dulu, saat hatimu untukku masih ada disini” Jari telunjukku menyentuh dadanya perlahan “I hurt you so deeply. Terima kasih, bahkan sampai sekarang, bahkan sampai kau memiliki cinta kedua, kau masih berada disampingku” Ucapku lambat-lambat. “ Aku mencintaimu meski hatiku terlambat merasakannya dan yang terakhir Aku akan merindukanmu karena sekarang aku akan melepasmu”

Lonjakan denyut jantungku membekap seluruh area pernafasan. Sesak sekali. Mungkin aku sering melihat drama jadi sesaknya berhasil kututupi dengan untaian senyum memaksa yang pernah ada. Tapi tetap saja air mata ini susah dibendung karena bukan terbuat dari beton dan besi seperti bendungan sungai.


Tahu aku dengan kegagalan aktingku, dia memelukku dalam diam dalam kesunyian dikala senja. Ah..sakitnya. Lama sekali ia memelukku antara tak tega dan tak ingin meninggalkan. Sendu kunikmati galaunya. Membakar kalbu. Yang ada diingatanku kala itu, aku memukul kepalanya mencoba tertawa ceria, membiarkan segala emosi meranggas tangisku. Meninggalkannya didepan ayunan. Ayunan yang pernah kita perebutkan meski ada dua ayunan sekalipun. Warnanya biru dan merah jambu sekarang berubah menjadi keabu-abuan. Kotak pasir yang membawaku pada tangisan keras karena sepatuku pernah kau tenggelam disana. Memori laknat itu menari-nari dikepingan hatiku yang melebur.

By : Indah

Jumat, 14 Juni 2013

Time Machine Part 7 -- [Happy Ending]

“Sudah jangan galau, boleh mengingat masa lalu tapi masa lalu yang menyenangkan” Nara berusaha mencairkan suasana sendu.
“Wine ini sepertinya membuatku sedikit mabuk. Lanjutkan ceritanya, kita habiskan sampai tengah malam.” Sora menaruh botol wine kosong ditengah tumpukan foto-foto terakhir kemudian menyantap potongan biscuit coklat milik Paran tepat disebelahnya.
“Hyaa…” Raungan Paran tampak tak iklas berbagi biscuit.

Kesenduan berubah menjadi kehangatan kembali. Semua wanita dengan wajah penostalgia ini ternyata masih menjadi pemerhati yang baik. Mulai kisah malu-malu Paran dengan cinta pertamanya, Ninri dengan pemetik gitarnya, Hadiah syal untuk Ji Eun yang tiba-tiba menghilang, cerita setan tampan yang menghentak hati Hyurin hingga cerita mahagalau Sora. Inilah ciri khas wanita dengan segala cuap cuap yang tak pernah habis.
Tak usah dibayangakan berapa lama mereka duduk, berapa banyak mereka memesan makanan dan minuman kemudian berapa kali harus kekamar mandi sekedar untuk pipis dan bermake-up. Yang paling sadis adalah seberapa parah kebisingan yang mereka timbulkan didalam cafe yang tak seberapa besar itu hingga malam, hingga café itu tutup.  Para pelayanpun serasa tak pernah berkomentar ataupun keberatan dengan kedatangan mereka. Intim.

Ada sesuatu yang mengetuk hati Nara saat jemarinya sudah menyentuh sebuah foto yang semestinya menjadi rahasia tersendiri.  Sedikit tersenyum kearah teman-temannya. Rasa penasaran bermunculan di atas kepala para sahabatnya.

“Eum..kali ini aku tidak ingin bernostalgia. Aku ingin me..eum..melakukan pengakuan dosa. Ya sepertinya ini saat yang tepat” Suaranya sedikit memaksakan keceriaannya.
“Apa itu?” Tanya Hyurin dengan wajah ingin tau.

Foto yang ia genggam diputarnya perlahan, kedua alisnya saling bertautan seperti gemas tapi juga takut-takut untuk mengejutkan para Venus yang dikerubungi rasa penasaran. “Mianhae~”
Sebuah foto berformat fotobox Nara dan sosok laki-laki yang awalnya terlihat asing hingga rekan-rekannya memutuskan untuk berdiri dari kursi kemudian berangsur menghambur kedepan, mendorong meja yang penuh dengan makanan. Membuat suara gelas-gelas berdenting dan bergeser. Fix! penglihatan mereka tidak pernah salah, Dongwan dengan rahangnya yang keras tertawa lepas. Selepas itu, yang ada hanya tatapan Ziinging~ dari kawan-kawannya dan yang paling tajam adalah Sora.

“A..a..aku akan menjelaskannya segera” Gugup Nara.
“Selama ini kau menutupi semua ini?” Sahut Ji Eun.
“Bagaimana mungkin disaat kita sibuk bermain api dengan cecunguk cecunguk itu, kau sibuk dengan Dongwan?” Celetuk Ninri.
“Bagaiamana kau bisa menyembunyikan ini semua selama dua tahun?” Pertanyaan menghujam yang lain datang dari Hyurin.
“Ooo..aku tau asal semua foto ini, sekarang” Paran menambahi.
“Ya...ya itu hal yang berbeda” Nara mencari alasan.
“Rasanya berbeda saat kau merasa kasmaran kan?” Sindir Sora membekukan mulut gadis sembrono itu.

Bervariasi pertanyaan dan sindiran menumpas segala kegalauan yang ada diam-diam mereka bercanda dalam aib yang dibangun Nara. Gadis itu memucat kemudian menarik nafas. Memandangi foto kenangan. Tersenyum manis. Kemudian mengawasi satu persatu temannya yang kini sudah kembali di singgasana zona nyamannya masing masing masih menahan rasa curiga dan kekesalan tapi tidak untuk Paran dengan pose imutnya.

“Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikan hubunganku dengannya saat itu. Kalian sibuk dengan urusan permusuhan dua kubu sedangkan aku dan dia hanya sebatas saling bertukar informasi” Menjelaskan dengan santai. “Kalian tidak pernah curiga kenapa hanya aku yang tak pernah bertengkar dengan Shinhwa”
Ada rasa mengganjal saat mendengar penjelasan Nara yang sedikit meragukan “Dalam kondisi apa kau bisa jatuh hati padanya? Jelas jelas Dongwan…”
“Dongwan oppa bukan anggota Shinhwa” penekanan dari bibir Nara mematahkan argumen Ninri. Seketika memahami.
“Uuu..dia bahkan masih menyebutnya Oppa” Paran dengan lugunya mengompor keadaan. Kondisi dipenuhi dengan berbagai alasan dan keterangan yang membuat Venus focus dengan argument masing-masing. Ada yang menggerutu ada yang pasrah bahkan mengomel-ngomel sendiri merasa tak adil dan segala ocehan mereka meracau seperti pasar.
“Kan aku sudah bilang mianhae hal itu diluar prediksi. Aku putus dengannya setelah lulus SMA kemudian…”
“Permisi, Café Shinhwa akan tutup 15 menit lagi” Suara tak asing datang memecah suasana tepat ditelinga Nara, Paran, Ninri, Ji Eun dan Hyurin secara bersamaan. Tangan mereka sibuk memeluk  Venus dari belakang kecuali Sora membuat dia mengaduh. Kepalanya hanya menggeleng menanti sumber tangan yang lain memeluknya dari belakang tapi tak kunjung terjulur. Kepalanya mendongak.
“Apa? Kau mau dipeluk dari belakang?” Eric menyambar dengan kejam disebelah Sora yang berharap. Wajah Sora memerah.
“Kau ini suami macam apa, antar aku pulang sekarang” Desah Sora jengkel.
“Sudah selesai bermain-main dengan masa lalu?”
“Ya”

Senyum Eric mengembang. Tubuhnya yang tinggi tertunduk sekarang. Menatap mata Sora lekat-lekat. Tangannya terjulur disela-sela kakinya. High heels pink yang ia kenakan dilepasnya perlahan. Sora hanya termenung melihat tingkah aneh suaminya itu. Sekarang Eric memutar tubuhnya, menunjukkan bagian punggungnya yang luas. Dia berdecak “Ayo naik”

“Cieeee……” Semua menghuru-hara <~ (ini apa ya allah T.T Eric so sweet…*daaash!!*)

Mereka dengan segala kebodohan yang pernah dilakukan semasa SMA. Pelayan yang diam diam memperhatikan pembicaraan mereka, pelayan dengan celemek putih yang berlalu lalang seolah mengacuhkan para wanita dengan karakter yang berbeda. Kisah ke-fate-an mereka yang absurd hingga menjadi ini. Menjadi Café Shinhwa dengan owner suami-suami Venus sekarang. Kisah-kisah nostalgia tampak seperti kenangan terpendam namun dimasa depan adalah sebuah jawaban yang indah bagi Venus dan Shinhwa.
“Siapa yang tertinggal dibelakang, pasangan itu harus mengunci pintu Café. Siap?” Seru Eric.
Semua dengan permainan konyol mereka diakhir malam. Shinhwa dengan posisi membopong istri-istrinya di punggung. Berbaris sejajar. Konyol.

“START!!!” Aba-aba meluncur dari bibir Junjin. Menghempaslah mereka. Berlari kencang dengan kebahagiaan masa sekarang.

Hanya pasangan Dongwan dan Nara yang berpura-pura. Berpura-pura bermain. Menatap ke lima pasangan berlari kencang. Saling menjatuhkan sama lain. Menerobos pintu kemudian terjatuh bersamaan. Tertawa lantang. Hanya mereka berdua yang tertinggal. Saling melihat satu sama lain kemudian keduanya tertuju pada meja bundar yang masih tetap diam dengan segerumun sampah dan tak lupa potongan foto-foto sisa yang tertelungkup disitu. Apa yang ada dibaliknya?

Dibaliknya semua foto itu satu persatu. Pesta pernikahan Venus dan Shinhwa. Ji Eun dengan balutan wedding dress putih menggandeng Minwoo yang bergeming malu-malu. Paran dan Andy dengan pose bbuing bbuing mereka tertangkap candid camera memakai pakaian khas tradisional Korea. Ninri menyampirkan tangan kanannya dileher Junjin yang sedang asik memegang gitar. Hyurin dengan gayanya yang khas anak rajin. Memegang buku sebagai pengganti buket bunganya bersama Hyesung disebuah perpustakaan kota.

Sora dengan pose yang paling manis bersanding dengan Eric disebuah taman bermain. Yang terakhir adalah Dongwan menggendong Nara sambil memegang kamera kesayangannya dibawah pohon rindang. Foto mereka tampak biasa yang membuatnya tampak indah dan manis adalah balutan gaun-gaun putih bernuansa cream dan orange ditambah Tuxedo kehitaman milik mempelai pria yang begitu anggun, yang mereka desain sendiri untuk foto prawed dan pesta pernikahan mereka. Nara menata satu persatu foto itu. Membungkusnya dengan rapi dalam sekantong amplop coklat. Jangan sampai ini hilang….ungkapnya dalam hati.

“Takdir mereka berakhir sampai sini ya?” Dongwan angkat bicara.
“Hehe iya. Ketika takdir mereka dipertemukan oleh sebuah pick gitar, syal bahkan cerita galau masa lalu lantas apa yang mempersatukan kita?” Tanya Nara dalam keheningan.
Sambil menengok ke arah gerombolan huru hara diluar Café. Mata Dongwan menerawang jauh kedepan. Melambai pada orang-orang yang kini memberi isyarat untuk segera mengunci Café.
“Kamera? Kurasa tidak. Tapi Kisah mereka, pengalaman mereka yang telah mempertemukan kita. Tanpa sadar kita selalu ada disisi mereka, dalam kondisi senang sedih sekalipun. Kita selalu ada disisi mereka” Senyum Dongwan.
THE END


 Author Writing Message :
Semoga tidak mengecewakan :)
Saya sudah melambaikan tangan wkwkwk
Semoga persahabatan kita kayak dicerita ini dan bertemu jodoh sengganteng mereka amin :p

Kamis, 13 Juni 2013

Time Machine Part 6 -- [Blue Feeling]

“Perjalanan nostalgia kita akan berakhir sebentar lagi, tinggal dua orang sebagai cerita penutupan” Ninri mengayun-ayunkan kepalanya ceria. Yang lain hanya bertepuk-tepuk sambil menatap ekspresi kosong Sora.

Tak pernah tau rasanya waktu diputar dan berputar. Seolah hanya cahaya yang mempermainkan kedua mata. Dari cahaya kekuningan, putih transparan lantas menjadi senja. Begitu yang dirasakan lalu lalang orang dan pelayan didalam café. Orang datang membeli sesuatu kemudian berlalu, entah berapa pengunjung datang dan pergi namun cuma satu meja itu saja, satu meja dengan segala cerita, imajinasi dan canda yang tak pernah pergi. Dan sekarang datanglah sang malam. Pengunjung mulai habis.

“Hm?” Sora tertegun kemudian tersadar “Oh..sekarang giliranku. Entah kenapa ada nuansa aneh disekelilingku. Mungkin waktu sudah mulai malam” Cengirnya.

Lima foto sudah hilang dari atas meja, dengan sedikit waspada wanita berkulit langsat itu mulai berdeham kemudian mengambil salah satu dari yang paling bawah dan paling terselip. Memperlihatkannya terlebih dahulu kepada keenam rekannya.

“Owhh…..”
Tak satu orang pun berkomentar panjang. Ia penasaran lalu melihatnya sendiri. Wajahnya melukiskan sesuatu yang absurd, entah karena sedih atau malah bahagia. Satu kondisi dimana Sora mendapat ‘blue feeling’, marah sejadi-jadinya dan air mata tumpah.

“Hya, kau yang mengambil foto ini” Menunjuk Nara dengan gayanya yang khas preman membuat gadis mungil itu tersenyum geli.

Sedikit bingung untuk memulai ceritanya, matanya mulai berputar melihat suasana temaram. Menghela nafas sejenak. Menaikkan poninya. Berpura-pura menghitung para pelayan yang tanpa interaksi. Bola matanya tertuju pada salah satu pelayan dengan tubuh tegap berhidung paling mancung diantara yang lain, sekan menarik perhatiannya, menyunggingkan senyum kepada pelayan yang tak menatapnya. Seperti menarik saja bagi Sora ketika melihat pelayan itu disibukkan dengan botol-botol wine didepannya.

Rekannya mulai mengantisipasi gerakan Sora yang tiba-tiba berdiri dari kursinya. Berjalan kearah pelayan dibalik meja bar. Membiarkan mereka bercakap satu menit, pria itu mengangguk, menaikkan kedua alis tebalnya lalu menggeleng perlahan. Memikirkan sesuatu. Sora memainkan rambut berkembangnya, memutar gelas-gelas kaca tepat didepannya. Sedikit menggoda. Diakhiri dengan kata sepakat. Tapi begitulah Sora dengan ciri adaptasi dan persuasi yang baik. Tak lama tangan kanannya kembali bersama sebotol wine. Sora si biang modus.

*****
“Emm..mianhae” Suaranya berdengung ditelinga sosok tegar, Sora. Bibirnya menciut, tas Puma kesayangan yang Ia jinjing dihempaskan begitu saja di tengah lorong. Botol minumnya keluar dari sisinya.
“Wae? Kenapa kau harus kembali?” Ada rasa penasaran dalam diri Sora. Pria dengan balutan seragam dengan warna berbeda itu mulai melangkah mundur. Bergegas mengambil ancang-ancang terkena hujatan dari gadisnya.
“Aku menyesal meninggalkan dan menyakitimu yang dulu sangat tulus… “
“Arraseo..” Sora bergegas memotong pembicaraan dengan angkuhnya. Matanya menatap sendu mata Key yang mulai kebingungan mencari alasan. Ia sudah tegar menghadapi hal macam ini, hal-hal menyakitkan yang pernah ia tempuh seperti bergonta ganti pasangan, menyakiti seenaknya tapi ia melakukannya karena hal ini. Karena alasan masa lalu yang membuatnya menjadi liar. Membeku dan menghancur seperti abu. Hatinya. Seperti tinjuan keras di ulu hatinya.

Diwaktu itu juga, mereka tidak hanya berdua tapi bertiga. Istilah tembokpun bisa mendengar telah terjadi diposisi Eric. Seperti adegan –adegan difilm romantis, ketika orang yang menarik perhatianmu sedang berdiri membelakangi pintu dan kau dibaliknya. Entah sejak kapan si rapper itu berada disitu, yang jelas sekarang dia hanya memandangi cermin-cermin yang memantulkan dirinya dengan mata kosong sambil menguping pembicaraan mereka.

“Kau tau, aku mengalami perubahan setelah pengkhianatan yang kau lakukan. Masaku sekarang bukan lagi gadis baik-baik dan lugu dengan segala kelembutan yang kupunya. Hampir tiga tahun aku memperlakukan laki-laki seperti anjing pesuruh” Pancaran matanya penuh rasa sakit. “Bagaimana caraku membangun itu semua? Kau tau? Dengan membencimu aku menjadi kuat, dengan tidak lagi mencintaimu aku menjadi menang dan dengan tidak memaafkanmu aku menjadi seperti sekarang. Kim Sora!”

Seperti dihujam pedang, segala maaf dan kegentle-an Key menjadi ampas. Sora layaknya mayat berhenti bernafas, berusaha menahan air mata. Sesak. Laki-laki didepannya adalah laki-laki pertama yang mengenalkan dia tentang cinta dan pengkhianatan. Pria pertama yang menjadi kekasihnya, yang paling ia sayang, kesedihan yang ia rasakan seakan melayang, kesenangan yang menjelma menjadi kayangan saat bersama Key.

Ketegangan yang mereka alami dirasakan juga oleh Eric. Dari yang hanya sekedar duduk hingga tubuhnya yang sekarang hampir terhentak. Meresapi setiap kata yang dihunuskan Sora kepada Key. Dia kehabisan kata.
“Sekarang, apa pembelaanmu?” Sinis gadis itu.
“K..kau sudah berubah. Kemana Kim Sora dengan senyum lebarnya? Perilaku childish yang suka mencari perhatian? Pelukan hangat yang sering aku dapatkan, mimpi yang sering ia ungkapkan”
She is gone. Get lost with her amazing dream. Apa yang kita bangun dulu adalah bualan belaka sekarang. Semuanya tampak seperti debu bagiku. Dan kau hanya halangan kecil yang akan hilang terbawa angin” Senyuman menghina perlahan ia sematkan. “Mianhae, Key oppa…”

Wajah Sora yang tajam perlahan mencair dengan segala kepura-puraan akan perasaan yang masih tersisa. Rasanya ingin memaafkan dan menerimanya kembali. Namun perasaan tersayatnya masih tak ingin berhenti. Masih meronta ingin disembuhkan dengan kejahatan manis sebagai playgirl untuk saat ini. Ada amarah yang benar-benar ingin ia hamburkan keluar, hampir tak tahan dan bengah dengan segala yang menyangkut hati.
Segera ia meraup tas dan botol minumnya. Merampas segala kemarahan dan kesedihannya sementara. Tubuhnya berbalik meninggalkan Key yang memucat. Pintu menjebam didepan wajahnya yang tampan.

“Hya!! Apa yang kau lakukan disini?!” Sontak Sora terlonjak, melihat Eric yang juga terbelalak dengan topi Wolf dibibirnya. Congkak.
“A..aku se..sedang dance practice” Terbata-bata. Gelagatnya mulai konyol setengah ketakutan saat atmosfir berubah menjadi membeku. Mata Sora tak bisa lagi diajak bercanda “Mianhae” Tambah Eric.

Keheningan membuat studio makin aneh. Seakan tanda untuk Eric membuka pembicaraan. Kini Sora mulai menaruh barang-barangnya diujung ruang, menyiapkan dance practicenya sendiri. Memilih-milih kaset yang akan ia putar. Mencoba menyembunyikan perasaannya yang gundah dalam kebisuan.

“Uhm..ehem. Hei bicaralah seperti orang bodoh saja tidak mau bicara. Jika ada masalah bicaralah”
Kepala Sora menegok sekelas kearah Eric. Ada yang semakin membakar emosinya. Diredamnya perlahan. Untuk saat ini membiarkan Sora sendirian adalah hal yang terbaik namun pria nakal itu tak kunjung menghentikan keisengannya. Tak bermaksud memperburuk keadaan hanya saja percakapan kecil mungkin membantu.
“Hei..Sora-ya! Jika diajak orang bicara sopanlah sedikit hargai..isk dasar wanita”

Eric lepas bicara. Sora mendongak kali ini. Kekesalannya membuncah. Menatap wajahnya lekat-lekat, mengerjab lalu mendesah kasar. Langkah kakinya menguat selangkah demi selangkah, mendekati Eric. Didepan matanya yang ada hanya samsak, setiap laki-laki hanyalah samsak. Tangannya mulai menggenggam erat ujung kaosnya, melepasnya kuat-kuat. Dibuangnya ke lantai. Bibir Eric menganga, memerah melihat musuhnya hanya memakai potongan tanktop dan celana pendek. Jadi seperti ini Sora saat latihan. Mata Sora memerah.

“Apa yang kau lihat? Apa yang kau mau dariku? Kenapa kau dilahirkan? Kenapa kita selalu dipertemukan pada saat yang tidak tepat? Bagaimana kau dengan mudahnya menjahili kehidupanku? HAH?? Kenapa kau yang muncul? KENAPA?!!”

Kemarahan itu membuat Eric melemah, baru pertama ia bertemu dengan wanita kasar sekaligus kuat dalam memendam emosinya, dalam bersandiwara, menciptakan scenario untuk panggung hatinya. Luruh sudah jantungnya, merasakan perasaan simpati yang dalam. Tak bermaksud membunuh perasaannya perlahan. Dia tau segala yang membuat Sora seperti ini. Karena pengkhianatan dari orang yang pernah ia cintai dengan tulus.

“Aku membenci, membenci setiap lekuk tubuh laki-laki pengkhianat sepertimu, Laki-laki yang sering bermulut manis, pengecut. Laki-laki yang setiap saat menyibukkan hari-harinya menjahiliku….” Bibir Sora mulai bergetar. Tak ingin mengakui air ini adalah setetes air matanya. Air mata bukan untuk keisengan Eric tapi untuk kekesalan yang lain. Perasaan menolak untuk menerima kembali masa lalunya. Ia masih mengoceh, mengeluarkan segala unek-unek dihatinya. “Laki-laki bernama ERIC MUN bahkan antek-anteknya sekalipun……” Eric terhempas sesaat. Sora kehabisan nafasnya.

Apa yang perlu dilakukan Eric sekarang? Semarah apapun wanita, pelukan adalah cara terbaik yang harus dilakukan.

“Biasanya wanita itu akan menangis sangat kencang, tapi mengapa cuma kau wanita yang menangis hanya setetes. Aneh.” Eric memelukknya erat. Suara paraunya memecah kemarahan. Sora menikmati pelukan itu sebagai sebuah kebodohan.

Sepinya semakin terasa ketika mereka berdua sama-sama termenung, memahami satu sama lain dalam dekapan mencekam yang pernah mereka lakukan. Eric dengan segala rasa bersalahnya , Sora dengan segala hatinya yang sesak.

Pintu studio tiba-tiba terbuka, sosok Nara muncul, masih dengan kameranya yang selalu menggantung dilehernya. Memanggil Sora dengan suaranya yang tinggi. “Soraaaa…..ya~” kemudian nadanya merendah saat melihat adegan yang tak biasa antara dua orang berperangai keras itu. Snap! Lensanya cepat-cepat beradu. Sebelum rekannya menjerit membodohkannya secepat kilat Nara pergi.
“Nara-ya! Kembali kau…!!!”
*****
“Apa yang kau rasakan setelahnya? Kau menyukai Eric kah setelah itu?” pertanyaan godaan mulai muncul dari kepolosan Hyurin sebagai ajang balas dendam.
“Hehe..berakhir dengan personality talentnnya yang waktu itu makin membuatku antara muak dan lumayan mencairkan susana” Sora meletakkan botol winenya yang tinggal setengah. Hampir habis ia tenggak sendirian.
“Jangan bilang dia melakukan performent rap distudio?” Tebak Ji Eun dengan perasaan kaget, tak berusaha melerai sahabatnya yang sedikit mabuk.
“Haha. Jjang!”
*****
Saneun geot Manheun geoseul da pogihae ganeun geot…….. Bokgu halsu eomneun hyujitngeul biwo. Miro Wiro Nal geonjyeojugil gido

Lagu yang ia nyanyikan berhenti dengan pose wajah meyakinkan dan paling keren untuk menghibur Sora yang bad mood. Tapi tetap saja tidak mengubah suasana pertengkaran menjadi persahabatan anatara dua kubu. Yang ada semua barang Eric; tas dan jaketnya diberikan begitu saja.

“Out! Kau bukan dancer jadi pergilah. Cukup sehari ini aku berbaik hati selebihnya jangan harap” datar Sora.
“Hash..baru pertama kali juga aku melihat wanita yang sangat sombong dan tak tau berterima kasih setelelah mendapat pelukan” sekilas Eric mendecak untuk menggoda Sora yang sekarang muncul semburat kemerahan di pipinya yang pucat.
“Pelukanmu itu untuk gadis gadis yang tidak punya akal sehat” Mata Sora mulai melotot dan mengepalkan tinjunya. Eric keluar dengan tampang paling manyun yang pernah ia lihat.
Holding your heart, Sora….berfikirlah kau  masih punya akal sehat.
*****