Sabtu, 15 Juni 2013

Maaf dan Terima Kasih

Aku sedang duduk ditaman bermain yang dulu pernah kita mainkan. Kita candakan berdua. Berisi dua buah ayunan, sekotak pasir putih dengan serangkaian ember dan sekop, perusutan yang tampak menakutkan diwaktu kita masih kecil dan sebuah jungkat jungkit yang kini sudah berkarat dimakan usia. Aku menunggumu. Menunggu kehadiranmu untuk pertama kali. Pasti dibalik ini semua ada permulaan cerita kita bukan? Teman lama yang bertemu kembali. Nyatanya tidak, hanya perasaanku saja.

Kita pernah berhubungan bukan sekedar teman bukan juga pacar tapi selingkuhan. Ah..menohok jika disebut selingkuhan. Mungkin teman yang melebihi batas lebih sopan. Hubungan pertemanan kita pernah ditenggelamkan waktu, dibenamkan angan yang mengusik kedalaman persahabatan kita. Sampai pada akhirnya kau menghilang dengan kenyataan bahwa ada perasaan tersembunyi yang kurang kutangkap sinyalnya. Perasaanmu padaku, gelombang gelombang ganas yang mematikan hatimu susah untuk kutangkap. Aku mungkin kurang peka, tapi aku berdarah O. Katanya orang berdarah O itu sensitive tapi aku tidak seperti itu. Aku hanya terlalu asik bercanda tak menggubris kode-kode perhatian yang kau umbar didepan mataku dulu.

Hasilnya adalah ini keterlambatan. Penantian ditaman bermain setelah 2 bulan lebih statusku yang menjadi bual-bualan dan hujatan. Wanita simpanan. Lebih menyenangkan jika jaman diundur dan dikembalikan menjadi aku dan kamu berstatus teman.

30 menit berlalu. Kau datang dengan motor yang tak pernah kuingat sebelumnya. Berperangai biasa-biasa saja, ada rasa hambar dikedua bola matamu. Aku menyapa dan kau membalasnya. Kita bercakap soal angin, cuaca,  cita-cita dan kehidupan. Sulit untuk memulai pembicaraan inti, tapi hatiku sudah tertata sebelumnya. Memang ini rencananya. Rencana untuk berhenti mencintaimu. Menyetop perasaan yang menguar saat kau sudah lelah mempertahankanku lagi lalu pilihannya adalah bersanding dengan kekasihmu.

Alasannya jelas, karena aku merasa terlambat mencintamu. Salahmu juga sebenarnya tak pernah ungkapkan keluh kesah rasa sayangmu dulu yang ngilu. Curangnya lagi kau hanya sendirian memendam sakitnya sedangkan aku bersenang-senang dengan kesenangan yang kugapai dan kupamerkan bahwa aku sering mendapat pacar baru tak mementingkan hancurnya hatimu. Hingga saat itu aku baru paham bahwa aku adalah cinta pertamamu. Kata itu meluncur begitu saja dari bibirmu dari bibir yang kenyataannya sudah memiliki cinta kedua setelahku. Apa-apaan? Dan bodohnya lagi aku dengan akses polos dan congkak mengiyakan segala keputusan ‘mari berselingkuh’ kita.

Mendung tipis ikut menemani, tak sanggup lagi aku berlama-lama takut hujannya turun lebih cepat dari dugaan. Momen yang tepat saat kita hening sejenak. Lalu kumulai alurnya, menyampaikan unek-unek yang menyubal kerongkongan.

“Sudah sampai sini saja bermainnya. Aku lelah” Seperti serudukan keras tepat didadanya tampak dari wajahnya yang pucat. Namun matanya dan helaan nafasnya menunjukkan ia mengerti maksudku.
“Kenapa?”
“Maaf, dulu, saat hatimu untukku masih ada disini” Jari telunjukku menyentuh dadanya perlahan “I hurt you so deeply. Terima kasih, bahkan sampai sekarang, bahkan sampai kau memiliki cinta kedua, kau masih berada disampingku” Ucapku lambat-lambat. “ Aku mencintaimu meski hatiku terlambat merasakannya dan yang terakhir Aku akan merindukanmu karena sekarang aku akan melepasmu”

Lonjakan denyut jantungku membekap seluruh area pernafasan. Sesak sekali. Mungkin aku sering melihat drama jadi sesaknya berhasil kututupi dengan untaian senyum memaksa yang pernah ada. Tapi tetap saja air mata ini susah dibendung karena bukan terbuat dari beton dan besi seperti bendungan sungai.


Tahu aku dengan kegagalan aktingku, dia memelukku dalam diam dalam kesunyian dikala senja. Ah..sakitnya. Lama sekali ia memelukku antara tak tega dan tak ingin meninggalkan. Sendu kunikmati galaunya. Membakar kalbu. Yang ada diingatanku kala itu, aku memukul kepalanya mencoba tertawa ceria, membiarkan segala emosi meranggas tangisku. Meninggalkannya didepan ayunan. Ayunan yang pernah kita perebutkan meski ada dua ayunan sekalipun. Warnanya biru dan merah jambu sekarang berubah menjadi keabu-abuan. Kotak pasir yang membawaku pada tangisan keras karena sepatuku pernah kau tenggelam disana. Memori laknat itu menari-nari dikepingan hatiku yang melebur.

By : Indah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar