Aku sedang duduk ditaman bermain
yang dulu pernah kita mainkan. Kita candakan berdua. Berisi dua buah ayunan,
sekotak pasir putih dengan serangkaian ember dan sekop, perusutan yang tampak
menakutkan diwaktu kita masih kecil dan sebuah jungkat jungkit yang kini sudah
berkarat dimakan usia. Aku menunggumu. Menunggu kehadiranmu untuk pertama kali.
Pasti dibalik ini semua ada permulaan cerita kita bukan? Teman lama yang
bertemu kembali. Nyatanya tidak, hanya perasaanku saja.
Kita pernah berhubungan bukan sekedar
teman bukan juga pacar tapi selingkuhan. Ah..menohok jika disebut selingkuhan.
Mungkin teman yang melebihi batas lebih sopan. Hubungan pertemanan kita pernah
ditenggelamkan waktu, dibenamkan angan yang mengusik kedalaman persahabatan
kita. Sampai pada akhirnya kau menghilang dengan kenyataan bahwa ada perasaan
tersembunyi yang kurang kutangkap sinyalnya. Perasaanmu padaku, gelombang
gelombang ganas yang mematikan hatimu susah untuk kutangkap. Aku mungkin kurang
peka, tapi aku berdarah O. Katanya orang berdarah O itu sensitive tapi aku
tidak seperti itu. Aku hanya terlalu asik bercanda tak menggubris kode-kode
perhatian yang kau umbar didepan mataku dulu.
Hasilnya adalah ini
keterlambatan. Penantian ditaman bermain setelah 2 bulan lebih statusku yang
menjadi bual-bualan dan hujatan. Wanita simpanan. Lebih menyenangkan jika jaman
diundur dan dikembalikan menjadi aku dan kamu berstatus teman.
30 menit berlalu. Kau datang
dengan motor yang tak pernah kuingat sebelumnya. Berperangai biasa-biasa saja,
ada rasa hambar dikedua bola matamu. Aku menyapa dan kau membalasnya. Kita
bercakap soal angin, cuaca, cita-cita
dan kehidupan. Sulit untuk memulai pembicaraan inti, tapi hatiku sudah tertata
sebelumnya. Memang ini rencananya. Rencana untuk berhenti mencintaimu. Menyetop
perasaan yang menguar saat kau sudah lelah mempertahankanku lagi lalu
pilihannya adalah bersanding dengan kekasihmu.
Alasannya jelas, karena aku
merasa terlambat mencintamu. Salahmu juga sebenarnya tak pernah ungkapkan keluh
kesah rasa sayangmu dulu yang ngilu. Curangnya lagi kau hanya sendirian
memendam sakitnya sedangkan aku bersenang-senang dengan kesenangan yang kugapai
dan kupamerkan bahwa aku sering mendapat pacar baru tak mementingkan hancurnya
hatimu. Hingga saat itu aku baru paham bahwa aku adalah cinta pertamamu. Kata
itu meluncur begitu saja dari bibirmu dari bibir yang kenyataannya sudah
memiliki cinta kedua setelahku. Apa-apaan? Dan bodohnya lagi aku dengan akses
polos dan congkak mengiyakan segala keputusan ‘mari berselingkuh’ kita.
Mendung tipis ikut menemani, tak
sanggup lagi aku berlama-lama takut hujannya turun lebih cepat dari dugaan.
Momen yang tepat saat kita hening sejenak. Lalu kumulai alurnya, menyampaikan
unek-unek yang menyubal kerongkongan.
“Sudah sampai sini saja bermainnya.
Aku lelah” Seperti serudukan keras tepat didadanya tampak dari wajahnya yang
pucat. Namun matanya dan helaan nafasnya menunjukkan ia mengerti maksudku.
“Kenapa?”
“Maaf, dulu, saat hatimu untukku
masih ada disini” Jari telunjukku menyentuh dadanya perlahan “I hurt you so deeply. Terima kasih,
bahkan sampai sekarang, bahkan sampai kau memiliki cinta kedua, kau masih
berada disampingku” Ucapku lambat-lambat. “ Aku mencintaimu meski hatiku
terlambat merasakannya dan yang terakhir Aku akan merindukanmu karena sekarang
aku akan melepasmu”
Lonjakan denyut jantungku membekap
seluruh area pernafasan. Sesak sekali. Mungkin aku sering melihat drama jadi
sesaknya berhasil kututupi dengan untaian senyum memaksa yang pernah ada. Tapi
tetap saja air mata ini susah dibendung karena bukan terbuat dari beton dan
besi seperti bendungan sungai.
Tahu aku dengan kegagalan
aktingku, dia memelukku dalam diam dalam kesunyian dikala senja. Ah..sakitnya.
Lama sekali ia memelukku antara tak tega dan tak ingin meninggalkan. Sendu
kunikmati galaunya. Membakar kalbu. Yang ada diingatanku kala itu, aku memukul
kepalanya mencoba tertawa ceria, membiarkan segala emosi meranggas tangisku.
Meninggalkannya didepan ayunan. Ayunan yang pernah kita perebutkan meski ada
dua ayunan sekalipun. Warnanya biru dan merah jambu sekarang berubah menjadi
keabu-abuan. Kotak pasir yang membawaku pada tangisan keras karena sepatuku
pernah kau tenggelam disana. Memori laknat itu menari-nari dikepingan hatiku
yang melebur.
By : Indah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar