Sabtu, 09 Mei 2015

Benar Benar Curhat

Berawal dari keadaan setelah wisuda. Hal yang lumrah ketika seorang sarjana mempertanggungkan gelarnya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu dunia kerja. Akupun begitu mencoba melamar pekerjaan di sana dan di sini. Hanya saja ceritaku sedikit mengandung kegelisahan.

 Semangatku untuk mencari kerja tidak sesemangat ketika aku berbisnis. Aku mencari kerja seolah olah hanya tuntutan orang tua dan tuntutan keadaan "setelah sarjana wajib cari kerja!" Seperti termakan sistem rasanya. Sudah ku sentil kedua orang tua terutama Ayah bahwa aku sedang berbisnis online tapi nyatanya beliau seperti kebal telinganya, menganggap tidak akan berpengaruh terhadap kehidupanku. Akupun hanya bisa diam, tenggorokan rasanya kering, maunya hanya menunduk dan menjalankan perintah yang tak kuinginkan. 

Hingga pada akhirnya aku melamar pekerjaan secara brutal sampai jauh dari rumah demi melihat Ayahku senang. Tak lama, ada panggilan tes kerja di salah satu BUMN. Letaknya 4 sampai 5 jam dari rumah. Hatiku berteriak, semakin ku tolak semakin aku lolos tes. Tes admin, interview awal, psikotes, tes kesehatan dan terakhir interview user. Kini pengumuman sedang ku tunggu. 

Ayahku girang setengah mati "sudah enak kau nanti di sana...BUMN. Hidup mapan. Tinggal di sana juga daerahnya enak". Aku seolah menyalahkan diriku sendiri, seharusnya aku tidak melamar di sana. Di sisi lain kesempatan besar ada di depan mata tapi kenapa hati masih tak bisa menerima bahwa aku akan pergi dari hal hal yang menjadi kenyamananku.

 Perubahan ini terlalu cepat rasanya. Dicabut begitu saja. Baru pertama dalam hidupku untuk bingung berdoa kepada Tuhan, berharap segera di loloskan dan mendapat kerja demi kebahagiaan orang tua namun aku tak nyaman atau berdoa jangan di loloskan kemudian menuai kekecewaan besar dari orang tua tapi hatiku lega. 

Apa ini bentuk ketidaksiapan? Tuhan lebih tau aku siap atau tidak. Benar benar tidak bisa memilih dan hanya bisa menjalani. Tangis menjadi saksi sejadi jadinya. Berbagai pendapat banyak mendoakan agar diterima kerja, aku hanya tersenyum. Semoga diberi jalan yang terbaik. Bangga mampu melewati tes sampai sejauh ini tapi mengapa perasaan tak bisa berbohong bahwa aku seperti "kehilangan". Kalau orang jawa bilang "gelo". 

Apa yang aku perkarakan? Perang batin jadinya. Kini hanya bisa menunggu....menunggu email terakhir. Aku diterima mau tak mau menjalaninya karena sudah terlanjur. Tak diterimapun aku cukup merasa bersalah terhadap orang tua dan berjanji mencari pekerjaan dengan penuh pertimbangan lagi sebagai pelajaran sebelumnya. 

Seakan itu solusi tapi sakit hati. Menjalani bukan waktu yang singkat bukan waktu yang padat tapi bertahan dengan semua rintangan yang menghujat. Aku berencana dengan perlahan agar orang tua mampu memahami keinginan anak sekaligus rencana agar kehidupanku nanti walau tidak seperti yang diharapkan orang tua tapi setidaknya mereka lebih legowo dengan pilihan yang aku ambil. 

Sampai saat ini belum ada yang benar benar membuatku yakin dengan satu pilihan. Semuanya terlalu rancu dan ambigu. Pikiran dan hati sedang kontras rupanya. Aku butuh jalan keluar, adakah yang bisa membantu?

By : Indah
Note : Tulisan jadi besar besar karena ngetik pake hape -_-"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar