Selasa, 02 Juni 2015

Ayah Rasa Mantan 2

Semakin ku pikir panjang akan apa yang terjadi semakin kencang dering handphoneku. Hallo?. Suaraku mendadak sedikit penasaran dan lebih dalam daripada biasanya. Semakin dalam aku mendengarkan, emosiku makin tak tertahan. Beliau mengucapkan beberapa kalimat yang membuatku tersulut. Intinya merasa marah dan kecewa denganku. Kenapa harus berhubungan dengan lelaki yang kurang beliau setujui? Masalahnya sepele hanya karena latar belakang keluarga yang dia pandang sebelah mata. Lelaki itu seorang wirausaha, sedangkan yang diharapkan beliau adalah dari kalangan pegawai alias karyawan tetap sebuah perusahaan. 
Panjang lebar dia berkata, sedikit kasar dan merendahkan iya! Responku akhirnya menantang juga. Melawan balik, memprotes yang tidak seharusnya aku lakukan akhirnya aku lakukan. Iya, melawan orang tua. Ayahku sendiri.

Mengapa? Karena menurutku sudah tidak jaman memandang orang dari satu sudut pandang. Hanya karena dia wirausaha dia juga berhak untuk sukses melalui jalannya. Terlebih lagi usaha tersebut menurutku menjanjikan daripada sekedar menjadi karyawan. Yang lebih mulia, lelakiku telah bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain yang membutuhkan pekerjaan daripada karyawan yang notabene ikut orang. Tidak adil jika ayah berkomentar panjang lebar tapi tidak tahu realita yang ada. Dunia ini lebih luas daripada yang dipikirkan, manusia harus lebih kreatif. Jangan mau termakan sistem dan stereotype.

Setelah sekitar 1 jam bertengkar hebat via telpon. Sambil menangis tersedu-sedu, aku menutup telpon itu. Tak perlu kuceritakan kalimat apa saja yang terlontar dan terbalas karena cukup menyakitkan untuk didengar. Menurutku biasa, pasalnya memang hubunganku dengan orang tua terkadang ada gap, beda pendapat yang teramat jauh. Mereka yang mendidikku teramat keras, menuntut sekolah seperti ini seperti itu, harus pintar, serius , sempurna bla bla bla sedangkan nyatanya aku jauh dari kata sempurna dan tidak pernah mendapat dukungan atas apa yang aku pilih. Sudah saatnya aku dengan pilihanku dan mereka harus menghargainya.  

1 jam setelah pertengkaran....
Akhir Mei...

Sohib sohib kosan datang untuk menenangkanku. Mereka justru seperti the real family yang mampu menenangkan disaat jiwaku melampaui batas. Berbagai nasehat kudengar, berbagai komentar kudengar. Meyakinkan bahwa aku bisa melewati ini. Memperpanjang jarak bukan akhir dari hubungan dengan lelakiku. Butuh rencana. Aku hanya meyakini ketika batu yang terus menerut ditetesi air akan berlubang begitu juga hati Beliau.

H-2 Kepindahanku...
Akhir Mei...

Kuperbanyak menenangkan diri, berdiskusi dengan lelakiku. Mendengar cerita dari teman teman yang memiliki masalah lebih besar. Umur 20 sekian merupakan masa transisi. Tak perlu lagi aku melihat teman teman yang tidak memikirkan soal pernikahan karena mereka ingin berkarir, tapi yang kulihat adalah kesempatanku ternyata tidak sama dengan mereka. Aku dihadapkan dengan sosok lelaki yang siap menikah dan itu yang harus aku hadapi, bukan lagi lelaki yang sepantaran denganku yang baru lulus dan masih hahahihi mencari pekerjaan bahkan sebagian dari mereka masih menganggur. Ketahuilah kondisiku berbeda, itulah yang membuatku merencanakan masa depan yang lebih pasti daripada yang lain.

H-1 kepindahanku...
Akhir Mei...

Kubangun rencana ku bongkar lagi, sedikit menangis banyak berpikir ulang dan ulang. Mulai terbiasa dengan ini. Memikirkan bagaimana cara menghadapi Beliau nantinya dan apa yang akan kulakukan di rumah. Rasa bingung merayapi tapi aku tetap yakin semua akan berjalan sesuai apa yang ada. Aku tidak sendiri, berdiskusi dengan Tuhan melegakanku. Waktunya Packing.

Siang hari, 31 Mei hari kepindahanku...

Mencoba untuk tidak bersedih dan tegar. Mengiklaskan semuanya dan legowo. Siang itu, jemputan langsung datang, 15 menit kuangkut barangku tanpa interaksi dengan Beliau. Sama sama tanpa interaksi. Ada yang berbeda, seperti Ayah rasa mantan. Iya. Ibarat kata bertemu mantan yang masih sayang. Tak ada kata, canggung, gengsi, tak ada yang berani memulai tapi masih saling ada. Ada untuk saling menyayangi. 

Kami sama sama gengsi untuk mengulik pertengkaran kemarin. Hingga sekarang 2 hari semenjak kepindahanku. Perang dingin. Rasanya seperti orang lain, cuek tak ingin bicara satu sama lain. Hampir 23 tahun kami erat dan dekat saling bercerita kini tak ada. Hilang, lenyap kenangan itu. 
Baru pertama kali aku dibuat begini oleh ayahku sendiri. Secara fisik, aku baik baik saja, benar benar sehat tapi secara hati terjungkir rasanya diperlakukan sedemikian rupa. Yang menguatkanku adalah pilihan, pilihan untuk tetap bertahan karena pada dasarnya kami sama sama keras. Dan tidak ada satu pun yang mau mengalah. Menset Ayah yang melihat dari satu sudut pandang sedangkan aku yang melihat dari beribu sudut pandang dan kami sama sama tak terkalahkan.

Entahlah, endingnya seperti apa. Kubiarkan diam aku juga akan diam hingga pada akhirnya rencana yang kususun sudah siap untuk dilepaskan. Benih yang aku tanam siap untuk dipanen. Maka disitulah kartuku akan kubuka semua bersama pilihanku di depan Ayahku yang serasa mantan. 

By : Indah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar