Kamis, 21 Maret 2013

The Named I love



“Apa yang kamu tulis untuk istri masa depanmu?” tanya Adam.
“Tidakkah itu rahasia?” protes Otto sambil menutup bolpoin dan  membentangkan sebuah kertas.
Sedikit gebrakan pada meja belajarnya.
“Teruntuk istriku tercinta. Karena aku sangat mencintaimu. Aku akan berusaha agar kita bisa hidup bahagia sampai akhir. Aku berharap kita bisa hidup bahagia selamanya. Terima kasih banyak ” Otto membaca suratnya sendiri sambil berekspresi aneh.
”Apa itu patut untuk disebut messages love?” goda teman berambut spike nya yang telah menghentikan acara meneken tulisannya juga, dimeja sebelah.
“Mari kita lihat punyamu. Aku ingin kamu selalu melakukan hal-hal yang terbaik bagimu. Karena sekarang kamu adalah prioritasku di atas segalanya. Marilah selalu hidup dengan bahagia. Sayang, aku mencintaimu. Menggelikan…” Otto tertawa, menerbangkan kertas-kertas konyol yang mereka berdua buat.
 Tangannya yang kasar menyambar sebuah gitar usang diatas kasurnya. Ia bangkit.
“Ok,saatnya bekerja. Aku harap kita mendapatkan keberuntungan hari ini”

Mereka berdua beranjak dari rumah kontrakan kecil di pemukiman sempit, meninggalkan kertas-kertas yang mereka anggap penting. Membawa dua buah peralatan berharga mereka, gitar akustik yang siap menggucang stasiun kereta. Dapat ditebak pekerjaan mereka adalah pengamen yang mempunyai derajat tinggi, tak maulah mereka disandingkan dengan pengamen biasa di emperan toko. Mereka bermusik dari hati, lagu-lagu mereka tak ada yang tak berarti, menciptakan lagu merupakan keseharian mereka.

Si Otto pemilik suara emas dan setiap lentik tangannya handal dalam bermain gitar  ,tak akan pernah berhenti untuk tersenyum kepada setiap orang yang akan ia hibur. Sama seperti partner seumur hidupnya. Si cemerlang Adam, dia berjanji akan terus menciptakan lagu untuk sobatnya dan bermain bersama hingga tak ada lagi orang yang mampu melihat mereka. Mereka yakin di setiap pagi menjelang, orang-orang juga akan ikut menanti mereka.

Sampailah mereka di stasiun tempat biasa mereka bermusik, tempat yang lembab, tembok yang berlumut dan dingin, hanya di temani tangga besi tua yang sayup-sayup terdengar suara berdecit kasar. Hari masih pagi sekali hanya sedikit orang yang lewat diawal.

“Hari apa ini? Kota sibuk setiap harinyakan?” seringai Otto.
“Entahlah, apa tema kita hari ini?” ujar Adam sambil menata beberapa bangku yang Ia ambil dari pos satpam.
“Jangan paksa aku berbuat buruk dengan tempat ini. Ceria saja seperti biasanya”.
“Okidoki”.

Otto memang enggan disuruh menyanyikan lagu sendu dengan alasannya yang konyol,“Suaraku terlalu menyayat hati, Adam” atau “Kenapa harus  aku, nanti nenek-nenek itu menangis” dan Adam hanya berusaha tertawa.

Untuk petikkan pertama sebagai pemanasan, gitar Otto terdengar mengalun sendu namun lambat laun hanya intro dan intro yang terus ia mainkan, bergemuruh keras lagu akustik yang menyenangkan. Adam berusaha menengahi lagu itu, mengikuti gerak jari-jari Otto, ekspresi sahabatnya yang menurutnya lumayan tampan ini membuatnya makin bersemangat. Tapi sayangnya pemilik alis tebal ini selalu tak serius meresapi permainannya.

“ Balonku ada lima..rupa rupa warnanya…” suara Otto melanglang buana ditengah kesunyian stasiun kereta.
“OTTO!! Haha seriuslah” hardik sohibnya yang kini memukul lengan si biang kerok. Permainan Otto terhenti seketika, “Kenapa aku mulai bosan ya?”.

Saat permainan mereka berhenti terdengar tapak kaki berlari kecil. Dua orang wanita sedang jogging bersama dan mengeluh capek bersama. Sosok itu duduk dianak tangga yang hendak mereka turuni. Pandangan kedua wanita berambut panjang itu mengarah pada dua orang pengamen di depannya. Mata keduanya tajam, menyisir gaya para pria didepannya yang sedikit compang camping namun manis itu. Sontak Otto dan Adam terkesiap dan segera menyanyikan lagu untuk mereka.

Baby you light up my world like nobody else

The way that you flip your hair gets me overwhelmed
But when you smile at the ground it aint hard to tell
You don't know
Oh Oh
You don't know you're beautiful


Para gadis masih memperhatikan dua pemusik itu lalu mereka tersenyum geli, sepertinya menarik. Lantas mereka menghampiri Otto dan Adam.

“Al, bukankah suaranya keren?” si pirang Victoria mengerling sambil menunjuk kearah Otto.
“Iya, mereka berdua pandai memainkan alat musik” Aline balas menunjuk ke Adam.

Tanpa pikir panjang Adam hanya terdiam dan memainkan lagu berikutnya. Kali ini lebih melow dan dalam. 

Ingin sungguh aku bicara
Satu kali saja
Sebagai ungkapan kata… perasaanmu padaku
Telah cukup lama kudiam…
Didalam keheningan ini
Kubekukan di bibirku
Tak berdayanya tubuhku
Dan ternyata cinta yang menguatkan aku
Dan ternyata cinta… (tulus mendekap jiwaku)

Otto ikut bernyanyi. Victoria dan Aline semakin ingin berlama-lama berdiri didepan  mereka, akhirnya Aline sadar harus berbuat apa, dia merogoh kantongnya mencari uang kecil tapi kesempatan itu dihalangi oleh Victoria yang sedari tadi tak berkedip mamandang Otto. Victoria berbisik pada adik yang terlahir beda 5 menit itu, “Aku yakin mereka tidak butuh uang”. Disaat lantunan lagu mereka berakhir Victoria masih tak berkedip.

“Sudah lama kalian berada disini?” tanya Victoria.
“Ehm..,setiap saat” jawab Otto sedikit gugup.
“Aku yakin kalian disini sangat lelah, ini ada hadiah kecil buat kalian” Victoria dan Aline memberi saputangan pada Otto dan Adam lalu melanjutkan joggingnya begitu saja.
“Kamu sudah tidak merasa bosan?” mendadak Adam menepuk pundak Otto yang masih melempar pandangan pada dua gadis tadi. Mendadak pula raut wajahnya seperti melambung, hembusan dadanya mencengkram kuat petikan gitar lalu suara emasnya kembali bersahutan diseantero stasiun.


Membuat diriku sungguh-sungguh

Tak berhenti mengejar pesonanya
kan ku berikan yang terbaik
tuk membuktikan cinta kepadanya

Dia dia dia cinta yang ku tunggu tunggu tunggu
Dia dia dia lengkapi hidupku

*****
Disisi lain Victoria dan Aline saling pandang dan memikirkan kejadian tadi.
“Kamu nekat!” kata Aline dengan sedikit penekanan.
“Aku butuh hiburan. Lagi pula dia terlihat cukup baik” diam-diam Victoria mengulum senyum.
“Jangan sampai Andy tau” mata lentik Aline seakan menghujam kakaknya.
“Oh..ayolah aku tidak sejauh itu. Aku bisa merasakan ketulusan mereka saat bernyanyi. Dirimu juga merasakannyakan? Mata coklat pria itu…, jangan buat hidupmu terkekang bersama Eric. Jujur saja apa yang kau rasakan”.

Aline mengumpat keras ketika pembicaraan sudah menyangkut perasaan. Diam-diam gadis mungil itu bersemu merah.

Victoria dan Aline kembali ke istananya yang megah. Tentu saja, mereka adalah saudara kembar dengan berbagai karakter yang berbeda-beda. Dua orang tuan putri anak seorang pengusaha tenar di kalangan berbagai Negara tetangga, dengan segmentasi yang bukan Indonesia ini, sangat terhormat ditambah tempelan manner yang berbobot. Numpang tinggal di Indonesiapun hanya sebatas skenario agar terlihat tidak terlalu mencolok, sedangkan ayahnya yang sering berseluncur ke Negara-negara lain mewajibkan anak kembar itu harus menikah muda.
Mereka tinggal bersama dua orang laki-laki yang akan siap mendampingi hingga akhir hayat . Andy dan Eric  adalah laki-laki dari sekian yang terpilih menjadi tunangan mereka. Laki-laki dari keluarga terpandang juga, bibit bebet bobot mereka terpenuhi diatas normal. Tak ada kata-kata tak sempurna didalamnya.

“Kami pulang!” teriak mereka berdua dengan nada yang sedikit absurd dari biasanya.
“Selamat datang. Makanan sudah disiapkan” sambut pelayan mereka.
“Terima kasih, Tuan muda sudah datang?” celetuk Victoria sambil berjalan ke dalam rumah tiga lantai itu.
“Masih dalam perjalanan…”

Eric dan Andy bekerja di suatu perusahaan milik mereka sendiri. Menjadi direktur bersama dan membangun serta mengolah perusahaan mereka sendiri dari nol. Menjadi partner dari perusahaan ayah si kembar memberikan peluang menjadi menantu nantinya. Terdengar pintu utama terbuka saat si kembar mulai memanjakan mulutnya dengan semangkuk sereal didepan TV. Sambutan hangat terdengar dari arah luar.

“Kalian berdua bangun pagi sekali hari ini? Tak biasanya” senyum khas dari sosok tinggi kekar memukau dunia. Andy nimbrung tepat disamping Victoria dan menyambar mangkuk sereal. Enggan menjawab sambutan sayang Andy justru Aline yang memprotes, “Kami selalu bangun pagi akhir-akhir ini!”.
“Saat tak ada kami apa yang kalian rencanakan?” goda Eric yang sudah berdiri di didepan TV tepat.
Nothing” menjawab dengan kompak sambil saling pandang.

*****
What’s your feel today?”  Adam menulis diarynya dengan semangat seperti biasa. Kebiasaan yang tak bisa tertunda setiap harinya dan mau tak mau Otto ikut-ikutan terpengaruh didalamnya.
“Keuntungan kita hari ini tidak ada tapi kita mendapat sesuatu” Otto menulis diselembar kertas dan diberikan kepada Adam. Adam menempel kertas milik Otto di buku diary anehnya. Sekilas bola mata Adam menangkap pesan yang disemburatkan dari tulisan Otto.

“Jangan berharap kepada mereka!”
“Siapa tau mereka akan datang kembali, Aku belum sempat menanyakan namanya. Mereka memang cantik” Otto melamun sembari memainkan sepotong saputangan merah jambu milik Victoria.
“Aku tidak akan berharap pada siapapun jika aku menjadi dirimu”  Adam memang berpengalaman dalam urusan perasaan, dia bisa melihat sesuatu yang terlihat salah dari awal.


To be Continued......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar